Tabik.

14 4 0
                                    

   Seminggu sebelum acara besar itu terjadi, Awan telah dulu mendatangi ku untuk menceritakan rencana nya untuk menembak Rinjani saat kamping nanti. Clara juga sudah kembali bersekolah tempo hari, dan kami kian akrab setelah nya.

"Jadi gini Fil... Pas Sunrise terakhir nanti gw mau lu ama yang lain siapin tempat.. pokonya se romantis mungkin di spot sunrise yang gw pilih nanti.. gw udah bilang ini ke kak Mahar, di bolehin.. malah di dukung". Jelas nya.

"Wah mantep tuh, yaudah gw ikut aja ya".

"Nanti malam sebelum sunrise terakhir kita ke spot nya duluan siap - siapin".

"Rinjani gabakal tau?".

"Gw udah minta Rani yang ngejagain dia untuk gak kemana - mana malam itu".

"Oh yaudah sip".

   Seminggu kemudian hari yang di nanti terjadi. Rombongan demi rombongan, bus demi bus berangkat menuju destinasi yang akan kami jadikan sebagai tempat berkemah. Perjalanan memakan waktu dua jam. 

   Sementara kak Mahar menjelaskan tentang apa yang boleh dan tidak saat kemah nanti, aku dan Awan berjaga di kursi bus bagian belakang. Dari belakang nampak jelas Clara sedang menikmati pemandangan dari balik jendela bus dengan khitmat nya. Pandangan ku tak bisa merubah arah nya kini.

   Dua jam kemudian rombongan kami tiba di tempat kemah. Rencana nya kami akan berada di sini selama tiga hari. Regu kembali di pecah sesuai tugas nya, aku dan beberapa orang termasuk Awan mendapatkan tugas untuk cek lokasi. Baik itu tempat minum dan lain sebagai nya termasuk spot sunrise nanti. Meski para ketua telah memeriksa tempat sebelum nya, sekedar memastikan agar lebih aman kebijakan ini diambil oleh ketua organisasi.

"Nah Fil, kesempatan banget nih, gimana kalau langsung cari spot aja?". Seru Awan mengajak ku mencari spot terbaik untuk sunrise kelak. Aku mengiyakan, kami lantas pergi mencari tempat yang di tuju.

   Setelah mencari - cari tempat yang cocok  hingga membuka jalur. Akhirnya kami menemukan tempat yang di rasa pas. Sebuah lapangan terbuka berlatar kota menjadi tempat yang Awan pinang. Saat Awan sedang membriefing teman - teman yang lain tentang akan seperti apa konsep tembak - menembak nanti nya.

   Jiwa solivagant ku meronta saat itu. Kaki membuat ku melangkah tanpa arah, aku mendaki sedikit ke atas, cukup jauh dari tempat Awan dan yang lain berdiskusi. Saat sampai di atas, nampak sebuah lapangan yang tidak lebih besar dari lapangan yang Awan pilih, tempat nya lebih rapat oleh vegetasi yang ada di sana. 

   Aku berjalan lebih jauh untuk melihat - lihat tempat itu. Sebuah pohon berdiri kokoh diantara semak di sekitar nya meski seorang diri. Berlatar kan pantai berpasir putih, ku pikir akan seru juga jika menyatakan perasaan di tempat ini.

   Malam pertama rencana nya adalah acara jurit malam. Yah tau kan, saat siswa baru di paksa berjalan menuju kuburan lalu di takut - takuti. Pada saat itu aku hanya berharap Clara berada dalam pengawasan ku. Aku yakin penanggung jawab lain tidak mau tahu perihal penyakit yang di idap oleh Clara, terlebih ayah Clara menitipkan nya pada ku.

   Keberuntungan berpihak pada ku. Kala ketua memanggil nama Clara, kak Mahar memanggil ku untuk mengawasi nya. Saat Clara memasuki kuburan bermodalkan sebuah senter, dari sudut gelap aku mengisyaratkan bahwa bayangan yang tengah ia tatap adalah aku. Ia mengangguk paham, seakan satu frekuensi ia langsung berpura - pura seolah ketakutan. Persis seperti yang ku harapkan.

   Tantangan pertama berhasil ku lalui untuk menjaga Clara agar tetap baik - baik saja.

   Setelah jurit malam, ketua mengumpulkan kami semua dalam sebuah lingkaran menghadap langsung api unggun. Aku dan tim regu lain mengawasi dari pinggiran.

   Diantara ramai nya suasana malam itu, wajah Clara menjadi tempat mata ku menatap. Ia sangat menikmati suasana ini, di temani Laras di samping nya.

   Sadar aku memperhatikan Clara, seakan paham Laras langsung mengangguk lalu berpamitan pergi kepada Clara. Samar ku dengar ia izin memeriksa camp UKS.

   Bagai sebuah emas aku lantas tidak menyia - nyiakan kesempatan itu. Aku menghampiri Clara. Belum sempat aku duduk sempurna sebuah kalimat langsung saja tercetus dari bibir elok nya.

"Fil... Makasih yah. Sekali lagi lu buat hidup gw jadi lebih berharga".
"Ya gapapa kali Ra. Lagian kan gw nya juga seneng. Tenang aja kali".

   Di tengah bisu sesaat itu sebuah beban tertumpu pada pundak ku. Clara menyandarkan kepala nya di dalam sandaran ku. Ah sialan detak ku kembali meronta.

   Tiga hari telah berlalu, ini adalah malam terakhir sebab esok kami akan kembali pulang menuju tempat nyaman masing - masing. Malam ini kami mempersiapkan tempat untuk rencana Awan dan Rinjani esok sementara kawanan lain mengemas tenda dan mempacking ulang peralatan mereka di bawah. Sisa - sisa daun yang terjatuh akibat bertiup angin ku susun menjadi bentuk hati di tempat itu, sementara kawan yang lain menyiapkan hal lain. Awan lalu mengeluarkan sebuah pisau lipat lantas mengukir namanya di sebuah batu di tempat itu. Dasar vandalisme.

   Pukul 05:00 Ketua organisasi membangunkan kami semua, meminta kami semua untuk bersiap menikmati sunrise di tempat yang telah Awan tentukan.

   Awan menghilang dari kelompok sementara Kak Mahar menuntun yang lain menuju tempat itu. Saat pagi telah menunjukan sinar nya, di kala yang lain terkagum dengan tempat yang tersedia serta pemandangan pagi yang indah, Rinjani menjadi yang paling kagum atas tempat itu. Sejurus kemudian Awan menerobos rombongan besar itu membawa bunga besar lantas menyatakan perasaan nya kepada Rinjani di hadapan 150 siswa. 

"Rinjani, mau kah hati mu ku pikat?". Ucap Awan.

   Sementara kawan - kawan yang lain bersorak "Terima Terima!". Di sudut lain aku langsung menarik tangan Clara dari belakang, membawa nya menuju tempat yang sudah ku tentukan semalam. Clara sontak kaget dengan tarikan kencang itu, aku tidak sadar kala itu menarik tangan lembut nya terlalu keras. Namun tanpa sepatah kata pun, seperti telah mengerti alur ia hanya mengikuti ku tanpa melawan, bahkan tanpa mencoba melepaskan tangan nya dari genggaman ku.

   Saat tiba di atas, seakan waktu dan semesta mendukung. Kami tiba di saat mentari sedang cantik - cantik nya. Bertabur sinar keemasan di laut biru kristal yang indah itu.

"Indah banget!". Ucap Clara tanpa sedikit pun memalingkan pandangan nya dari mentari.

   Sadar ini kesempatan aku lantas mengandalkan keberanian ku untuk mengatakan..

"Clara... Aku tau pertemuan kita lebih singkat dari usia waktu, lebih sederhana dari lingkupan badai pasir. Kala temaram tiba di pelupuk horizon, sinar sang senja redup oleh terang nya gemintang, menjadikan malam tergelap sekali pun memiliki sisi indah nya. Lalu sang pagi datang, mengucap salam pada sang samar lalu bersinar dengan terang nya. Dari diri mu aku belajar arti RASA yang sedari dulu meronta ingin mengucap sebuah janji dan komitmen. Maka dari itu... bersedia kah kau menjadi langkah dari kaki ku yang hilang arah?. Menjadi sayap dari mimpi tinggi yang ingin ku gapai?. Menjadi bait dan lirik dari setiap karya yang ku ukir?. Dan menjadi Hati dari sebuah pemikiran yang hilang alur?". 

"Bacot lu FIL!". Ucap Clara sembari terkekeh.

   Aku mulai was - was sebab jawaban yang terlontar dari mulut nya. Saat angin pagi baru hendak menyapa tubuh ku, dekapan Clara telah lebih dahulu menyentuh ku. Aku sontak kaget dengan Dekapan yang Clara berikan pada ku. Dekapan yang lebih hangat dari pada mentari pagi. Momen itu membuat ku salah tingkah, aku masih tidak percaya atas respon secepat itu. Dari balik diam Clara seakan paham aku yang bertingkah seolah tidak percaya, lantas ia membuka kembali pembicaraan.

"Ribet banget lu kalau mau nembak cewek ya?, sesederhana apapun cara lu ngungkapin rasa pasti gw iyain". Ucap nya membangkitkan senang di hati ku.

   Terimakasih telah bersedia menjadi cerah diantara pagi ku.

Dialog LaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang