Epilog 1

5.6K 486 65
                                    

Hiashi terbatuk pelan, ia berbaring diatas ranjang besarnya. Beberapa alat medis menempel di dada, serta selang infus menempel ditanganya.

Sudah sebulan ia terbaring tak bisa bangkit dari ranjang karena sakit keras. Dokter pribadinya selalu datang kemari, bahkan perawat melakukan home visit setiap hari untuk mengontrol keadaanya.

"Hanabi dimana?" Tanyanya pada dang istri.

"Di Tokyo, sibuk dengan pekerjaannya." Jawab Hikari. Sejak lulus kuliah beberapa bulan lalu, Hanabi mengambil alih bisnis furniture keluarga mereka di Tokyo. Putri bungsu mereka itu begitu gila bekerja bahkan perusahaan mereka maju dengan begitu pesat setelah dipegang olehnya.

"Telepon dia, katakan aku ingin bertemu." Hiashi kembali terbatuk keras.

Hikari mengambilkan air dan menyodorkanya pada sang suami.

Hiashi minum dengan susah payah, ya usia nya sudah tidak muda lagi dan sakit kerasnya terus menggerogoti tubuhnya. Sepertinya sudah tidak ada yang bisa ia lakukan selain berbaring diranjang. Menikmati masa tua nya ini.

Tapi ia merasa ada yang kurang sekarang, dimasa tua nya ini ia ingin berkumpul dengan anak-anaknya. Tapi mereka berdua begitu sibuk. Ah, bahkan putri sulungnya entah ada dimana sekarang. Dua tahun tidak ada kabar. Hari itu adalah terakhir kali ia melihat putri sulungnya.

"Hanabi, Ayahmu ingin bertemu. Bisa pulang ke Osaka?" Hikari mencoba bicara dengan putrinya.

"Aduh Bu, aku tidak ada waktu. Akhir tahun nanti aku baru bisa kembali, jangan terus menelepon. Aku sedang meeting." Hanabi mengatakanya dengan nada kesal, ia sedang ditengah meeting kala ponselnya bergetar keras diatas meja.

"Maaf Hanabi tapi Ayahmu ingin sekali bertemu." Hikari berujar serius.

"Bu, sudahlah aku banyak pekerjaan. Nanti juga kita bertemu, sampaikan salamku pada Tou-sama." Hanabi memutuskan panggilanya lalu mematikan ponsel agar bisa kembali fokus pada meeting kerjanya.

"Hanabi-.." Hikari menghela napas pelan, begitupula dengan Hiashi yang hanya bisa pasrah. Teleponya diangkat saja sudah sangat beruntung, biasanya Hanabi langsung menolak panggilanya.

"Dia sibuk sekali." Gumam Hiashi.

Hikari mengangguk ia duduk ditepi ranjang suaminya.

"Aku ingin bertemu dengan anak-anak." Ujar Hiashi parau, ia rasa umurnya tidak akan lama lagi dan yang paling ia ingin lakukan adalah menemui anak-anaknya.

'Anak-anak?'

Hikari tidak salah dengar kan? Itu artinya suaminya juga ingin menemui Hinata kan? "Ingin bertemu dengan Hinata?" Tanyanya ragu.

Hiashi tersenyum miris "kalau dia masih mau menemui Ayahnya-..."

"Dia pasti mau." Hikari memotong ucapan suaminya.

"Dimana dia sekarang?" Tanya Hiashi, ia juga banyak berpikir setelah dua tahun Hinata pergi. Tak satu haripun ia melupakan hari dimana ia memukul Hinata dan melemparkan besi itu ke perut Hinata yang katanya sedang mengandung. Lalu ceceran darah hari itu, ia benar-benar tidak pernah melupakanya.

Jauh dalam lubuk hatinya yang membeku, ia menyesal pernah melakukanya. Ia ingin minta maaf pada putrinya. Apalagi sekarang, disaat ia merasa begitu sakit, yang ia inginkan hanyalah menemui putrinya itu.

"Dia di Brasil, bersama suaminya." Ujar Hikari, ia sendiri tak begitu sering berkomunikasi dengan Hinata. Hanya sekali beberapa waktu yang lalu dihari natal. Ada pesan masuk dari Naruto, dia bilang Hinata sedang mengandung anak pertama mereka.

AmbitionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang