Him

3K 489 109
                                    

Hinata membuka mata berat, sambil meringis, rasa perih dikepala dan nyeri disepanjang lengan kiri menghantarkan kesadaranya kembali.

"Hinata, kau sadar?" Suara sang Ibu menyeruak masuk, menyapa indra pendengaranya.

Semakin ia tersadar, rasa sakit disekujur tubuhnya semakin nyata. Ia bernapas pelan sambil membuka mata sepenuhnya, bebauan obat memenuhi penciumanya.

Ia enggan buka suara, atau menyahut panggilan dari Ayah dan Ibunya yang berdiri disisi ranjang. Ia hanya menatap sambil berbaring pasrah diatas ranjang pasien. Ingatan soal dirinya jatuh dari atas balkon kembali hinggap dikepala.

Ia ingin sekali kabur dari situasi ini dan justru berakhir menyedihkan. Rasanya seperti ia akan terjebak dalam situasi ini selamanya, seumur hidupnya. Ah tapi ia bersyukur terbaring diatas ranjang pasien ini,  akhirnya ia bisa beristirahat dari belajarnya yang tak kunjung usai itu.

"Hinata, kau dengar Ibu?" Hikari mengusap surai putrinya.

"Hinata, ada apa denganmu?" Hiashi mengusap lutut putrinya sambil menatap khawatir.

Karena tidak ada jawaban, Hiashi bergegas melangkah keluar ruang rawat itu dan memanggil Dokter jaga.

Hinata masih bergeming, ia tidak ingin mengatakan apapun saat ini. Rasanya sangat lelah, bahkan hanya untuk bicara sekalipun.

.

Naruto menghentikan motornya dibelakang kediaman Hinata, ia hendak memanjat tembok belakang lagi namun ia terkejut saat mendapati sisi tembok belakang diterangi lampu orens yang sebelumnya tidak ada disana. Biasanya halaman belakang rumah itu selalu gelap gulita.

Ia mendongak kearah jendela kamar Hinata dan kamar itu gelap gulita. Biasanya sampai jam sepuluh malam pun lampu kamar itu terus menyala karena Hinata akan belajar semalaman suntuk hingga jam satu pagi.

'Apa benar Hinata sudah berangkat ke Inggris?'

Ia buru-buru mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya, lalu menelepon Hinata.

"Kumohon tersambung.." Naruto meremat ponselnya saat lagi-lagi suara operator yang menyahut panggilanya.

Ia mengusap wajahnya kasar, apa yang sebenarnya terjadi pada Hinata? Ia benci terombang-ambing seperti ini.

Kalau benar dia sudah berangkat ke Inggris, kenapa tidak mengucapkan selamat tinggal?

Ah tapi kalau dipikirkan kembali, mereka sudah terlalu sering mengucapkan kata perpisahan.

Tapi ini membuatnya bertanya-tanya, perasaan gelisah terus bergumul didalam hatinya.

.

"Hinata, makan ya sedikit saja." Hikari duduk ditepi ranjang sambil memegang semangkuk bubur.

Hinata berbaring menghadap dinding, bergeming sambil memikirkan banyak hal. Setelah ini apa yang akan terjadi? Ia mengabaikan semua orang yang datang kemari, terutama Ayahnya. Mungkin saja jika ia sudah pulang kerumah nanti ia akan terus dikurung dikamar sampai hari ujian masuk Universitas tiba.

"Kau kenapa Hinata, Ibu mohon katakan sesuatu." Hikari menangis terisak sambil meletakan bubur ditanganya keatas nakas.

Putrinya seperti orang lain saja, dia terus diam tidak mau bicara. Terkadang menangis lalu kembali diam, ia takut sesuatu lebih buruk terjadi pada putrinya. Ia juga terus berpikir bagaimana bisa Hinata jatuh dari balkon? Apa dia melompat atau apa?

"Maafkan Ibu, yang diam saja selama ini." Hikari tahu selama ini Hinata menjerit karena terus ditekan Ayahnya, tapi ia bisa apa. Ia juga bergantung pada suaminya, tak mungkin membantah. Apalagi suaminya adalah orang yang begitu keras.

AmbitionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang