Chapter 5

1.2K 98 33
                                    

Gemerlap lampu jalanan malioboro memancarkan sinar pada tiap pasang mata yang berlalu di jalanan ini. Syahdu. Yogyakarta selalu begitu bukan? Tampak orang-orang menikmati malamnya disini. Duduk si sudut kafe, tertawa riang dengan teman-teman, orang-orang yang berpegangan tangan.

Laki-laki itu mengeratkan tautan jari mereka yang sedari tadi memang tidak lepas. Sang wanita tertegun bertanya kenapa dia menggenggam begitu erat. Laki-laki itu menjawab, "nanti kamu hilang."

Sekali lagi ia tertegun. Kamu? Ia bertanya di dalam hatinya. Sejak kapan laki-laki dingin ini berbicara aku-kamu padanya?

"Vano, ada apa?"

Yang ditanya malah mengerutkan keningnya bingung dan menghentikan langkah mereka, "Maksudnya?"

"Tadi bilang, kamu."

'Jogja itu romantis Alea. Sekarang, aku-kamu ya?" dia tersenyum tipis.

Alea mendengus geli. "Dulu aja nggak mau aku-kamu."

"Itu di Jakarta," final Vano kemudian.

Malam ini mereka berjalan berdua saja, Davin dan Mamanya jalan-jalan ke lain arah. Mungkin mereka mengerti kedua sejoli ini butuh waktu bersama.

Langkah kaki mereka terhenti sebelum kedai bernuansa serba putih tersebut. Vano menggenggam tangan Alea dan mengajaknya masuk ke sana. Desain interiornya sangat simpel, tapi kedai ini begitu menarik perhatian. Mungkin mereka akan memesan segelas kopi dan duduk sebentar disini.

"Bagus ya cafenya," ucap Alea begitu duduk di kursi kayu. Vano tersenyum menanggapi.

Tidak ada yang bersuara padahal mereka sebentar lagi akan berpisah untuk jangka waktu yang lumayan lama. Alea menyesap kopinya sambil sesekali mencuri pandang ke arah Vano yang sedari tadi diam. Matanya menatap keluar, ke arah orang-orang yang tengah berlalu lalang di jalan.

Dengan sedikit kekuatan Alea menggenggam tangan Vano, "Ada apa?"

Vano sedikit tersentak dan segera mengalihkan pandangannya pada gadisnya yang saat ini menatapnya dengan penuh. Astaga Vano, kamu bahkan mengabaikan dia.

Senyum terbit di wajahnya, ia balik menggenggam tangan seseorang yang memenuhi pikirannya saat ini. "Menurut kamu ini pilihan yang tepat bukan, Alea?"

Ditanya seperti itu, Alea tergugu, untuk sejenak ia berpikir. Ia tidak boleh egois hanya karena tidak ingin Vano jauh darinya. Vano punya cita-cita dan tugasnya saat ini adalah mendukungnya bukan malah membuat ia bimbang dengan keputusannya.

"Van jangan pernah ragu lagi sama keputusan kamu. Cita-cita kamu sudah ada di depan mata. Aku yakin kita bisa."

Di bawah terangnya lampu, ia ingin mengamati wajah ini lebih lama lagi. Rambutnya yang tergerai indah, mata bulatnya yang sempurna, kulitnya yang seperti gula kapas. Shit. Vano mengumpat dalam hatinya, kenapa ia malah tidak sanggup jauh dari gadis ini padahal ini keinginannya.

Mereka kembali mengitari Malioboro dengan tangan yang tertaut. Seperti orang-orang yang memang tidak mau jauh. Pada 0 km Yogyakarta, Vano mendekap gadisnya, lebih dekat, lebih erat. Ia menciumi puncak kepala gadisnya, menghirup aroma shamponya. Biarkan seperti ini lebih lama, untuk malam ini.

Mereka larut pada keramaian di sekitar bahkan isakan Alea sudah terdengar di balik pelukannya yang semakin erat. "Kita bisa kan Alea?" lalu Alea mengangguk, meyakinkan diri bahwa jarak bukan halangan bagi mereka.

--

Pagi ini, Alea, Davin dan Mamanya akan pulang menuju Jakarta dan meninggalkan Vano disini. Pesawat mereka masih beberapa jam lagi. Vano menawarkan diri untuk ikut mengantar sampai di bandara. Namun Shinta tidak mengizinkannya, karena pasti lebih berat lagi untuk Vano nanti. Pasti ia akan sedih ketika kembali ke sini sendiri.

Hilang Yang TerulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang