Chapter 7

576 56 8
                                    


“Eh mba yang punya pulpen kemarin ya?” Vano langsung mantap melangkahkan kakinya ketika ia sadar bahwa ia tidak salah orang. Kemarin ia meminjam pulpen di perempuan ini, tapi tidak sempat mengembalikannya. Jadi hari ini kebetulan mereka bertemu lagi ia memutuskan untuk menggantinya.

“Iya saya.”

Vano menyodorkan selembar uang berwarna biru ke arah perempuan itu. “Ambil mba, ini ganti pulpen kemarin.”

Perempuan itu mengernyitkan alisnya, “harga pulpen saya ndak segitu kok, mas.”

“Nggak apa-apa ambil aja.” Vano kekeuh agar perempuan di hadapannya ini mengambil uang yang ia sodorkan.

“Ndak, mas saya ndak butuh uangnya, tapi lain kali mas harus paham cara terimakasih ya.”

Vano sekali lagi menatap lembar berwarna biru itu, sedangkan perempuan yang tadi sudah berlalu. Dengan langkah cepat Vano mengejarnya dan mensejajarkan langkah mereka.
“Ini ucapan terimakasih saya mba,” ucap Vano sembari mengikuti langkah perempuan yang ia tidak tahu namanya ini.

“Ndak perlu mas, pake saja buat beli pulpen.”

“Nama saya Vano, asal Jakarta nama mba siapa?”

Perempuan tadi menghentikan langkahnya dan menilik Vano sejenak, “Saya Btari asli Jogja. Sudah ya mas, saya permisi dulu.”

"Tunggu-tunggu saya harus balikin pulpen mba."

Keduanya berbincang hampir lima belas menit dan ternyata jurusan yang mereka ambil di universitas ini sama. Hanya saja Btari mendapatkan beasiswa sedangkan Vano tidak.

“Btari, hari ini kamu ada kelas sampai jam berapa?”

“Sampai jam satu siang, kenapa?”

“Saya mau traktir kamu makan.”

“Maaf mas, bukannya saya menolak rezeki, tapi saya harus makan sama ibu saya.”

Vano tertegun, padahal ia hanya mengajak Btari makan untuk ucapan terimakasih ia telah meminjamkan Vano pulpen karena dengan cerobohya ia tidak membawa barang penting. Ia malah membawa kameranya hari itu dan mungkin tadi Btari tersinggung karena ia menyodorkan uang tapi lupa berterimakasih waktu itu.

“Memangnya kamu nggak punya adek atau kakak gitu, kenapa harus sama kamu?”

“Saya dan ibu cuma hidup berdua saja mas.”

“Maaf Btari saya nggak bermaksud, gimana kalo saya traktir kamu makan nanti kamu bawa pulang dan kamu makan sama ibu kamu? Ini ucapan terimakasih saya dan permintaan maaf saya kalo tadi saya menyinggung perasaan kamu.”

Btari tidak lantas menyetujui ajakan itu karena jelas Btari baru mengenal laki-laki yang ada di hadapannya ini.

Sadar akan tatapan Btari yang aneh Vano merasa gelagapan. Ah iya tidak bermaksud apa-apa. Hanya terimakasih dan sudah. "Saya ngga jahat kok."

Kemudian Btari mengangguk setuju walaupun ia rasa ini berlebihan, ia kemudian mengeluarkan ponselnya yang membuat Vano lagi-lagi tertegun. Ia pikir ponsel keluaran lama itu sudah tidak dipakai lagi di bumi ini. Ponsel pintar memang, tapi itu sudah cukup usang mengingat saat ini merek-merek ponsel berlomba-lomba mengeluarkan produk unggul mereka.

“Mas simpan saja nomor saya.”

Jakarta

“Alea psstt...pssst Alea!” yang dipanggil menoleh ke arah sumber suara yang ternyata adalah Tara.

“Kenapa?” Tanya Alea berbisik takut dosennya akan marah.

Hilang Yang TerulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang