chapter 3

78 11 4
                                    

Wush, angin bersemilir menjatuhkan daun kering.

Perapian yang menyala membuat suasana hangat dan tenang.

Aroma sup daging kaldu yang lezat membuat siapa saja yang mencium ingin memakannya.

Sungguh nikmat suasana ini.

***

Suara pintu tua terbuka.

"NENEK TUA! AYAH! AKU SUDAH MENEMUKAN DAUN CACING UNTUK KAKAK! HEHEHE!"

Nenek penyihir baik hati itu menghampirinya, mengucapkan terimakasih, dan mengambil keranjang berisi bebahanan yang sudah Yunora ambil dari hutan.

Eh?

Baru saja Nenek itu ingin memegang tangan Yunora, ia langsung menepis tangan nenek tua, dan berkata, "hh, nenek tak tahu diri, nenek itu sudah tua, jadi jangan cari yang muda, cari yang sudah paruh baya. Hh, aku terlalu tampan untuk umur segini." katanya dengan nada sombong.

Nenek itu menjitak Yunora, "lihat anak ini, hahaha, Konyol sekali kamu nak!" tertawa gemetar nenek-nenek memang khas, "aku, memegang tanganmu bukan karena aku menyukaimu, tapi karena--" nenek penyihir menggantung perkataannya, "ah! mungkin nenek saja yang salah lihat. Lupakan kejadian ini dan makan sana, supnya akan dingin jika kalian tak makan sore ini."

Yunora mengusap jidatnya.

Tak tahu apa yang nenek itu lihat sehingga ingin sekali melihat sesuatu yg ada ditangan Yunora. Entah apa yang nenek itu pikirkan tadi. Tak peduli, ia langsung meracik ramuan pengobat.

Setelahnya, ia menuangkan ramuan hijau itu ke mangkuk kayu kuno yang mungil, dan diberikan kepada Ashima. Bau yang tak sedap. Seisi rumah muak dengan bau ramuan itu.

Yunora bertanya, "bukannya nenek hanya meminta diambilkan daun cacing dihutan? Setahuku daun cacing tidak sebau ini, nenek ingin membunuh kakakku ya?!" Alisnya memurung dan tatapan matanya setajam silet.

Nenek itu hanya menjawab,"aku tambahkan ingus naga putih, otak burung pelatuk, dan jari jempol kaki monyet agar kepala kakakmu tidak sakit saat bangun, ini juga akan memulihkan ingatan masa kecilnya, aku merasakan, ada yang menghapus ingatan masa kecilnya,"

"Iyek! MENJIJIKAN!!!  Terserah nenek, aku akan keluar, sepenuh ruangan ini bau sekali, aku mu-- uekk! Uek!!" Yonara langsung mendorong pintu dan keluar, memuntahkan isi perutnya yang baru saja diisi dengan sup daging lezat, sungguh sia-sia.

"Kirara, keluarlah, bawakan air minum untuknya." Suruh neneknya.

"Ah? Apa? Baiklah nek!" Katanya gugup, ia kedapur mengambil air matang, dan menuangnya kegelas mangkuk, iapun segera keluar karena muak juga dengan bau ramuan neneknya.

"Uekk! Uekk! Uekk!"

"Ih, menjijikan," nyinyirnya, mualnya Kirara setelah mendengar jelehan Yunora semakin menjadi, tapi ia menahannya.

Yunora menghadap ke arah belakang dengan muka pucat melas dan datar,"oh, kamu" kemudian melanjutkan muntahnya lagi, Yunora benar-benar mual.

"Hei! Duduklah dahulu," Yunora langsung menurutinya, ia berjalan begitu lesu.

Kirara menyodorkan semangkuk air ke arah Yunora yang duduk disampingnya,"nenekku yang menginisiatifkan hal ini, bukan aku, jadi, terimalah air pemberian nenekku ini. Minumlah!"

Yunora menatap cangkir itu curiga,"A-apakah ini air tawar? Apakah ada hal yang terkontaminasi diair itu? Aku benar-benar mual, aku hanya ingin air putih."

YUNORA STORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang