TRAUMATIZED

307 76 14
                                    

"Selamat pagi Tante!"

Suara bocah yang dirindukan Airin beberapa hari ini terdengar. Dia baru saja keluar dari dalam kamar dan ikut bergabung untuk sarapan pagi.

Airin yang mengalami jet lag karena perjalanan pulang dari Swiss ke Indonesia, menempuh perjalanan kurang lebih enam belas jam membuat wanita itu sesampainya di rumah langsung tidur lelap.

"Tante kangen! Sini peluk dulu."

Biyan tertawa dan turun dari pangkuan Maudy. Balita itu memutari meja untuk menghampiri Tantenya. Airin langsung mendudukkan Biyan dipangkuan lalu mencium kedua pipi itu.

"Tante kangen berat Sayang, Tante ada bawa oleh-oleh yang banyak buat Biyan."

Balita itu berteriak girang dengan apa yang dia dengar.

"Nanti Tante kasih, tapi kita mesti sarapan dulu ya, kesayangan Tante."

"Oke, Tante, yeay!"

"Selamat pagi semua!" Sapa Hardi melangkah masuk ke ruang makan.

Airin melotot kaget bukan ke arah Kakaknya melainkan ke arah seseorang berdiri di belakangnya.

"Kamu kok ada di sini?"

"Calon suami datang, sapanya kenapa gitu Adikku, Sayang?"

"Bu, bukan gitu tapi ... tunggu dulu, tadi Kak Hardi bilang apa? Calon suami?"

"Manis betulkan Ma? Yang dilamar di depan menara jam lalu disaksikan seluruh wisatawan!" Maudy berseru senang.

"Kok?"

"Apa Sayang? Calon menantu Mama yang kirimin foto-fotonya. Kamu nggak bisa menghindar."

Airin menatap tajam Adrian saat ini tersenyum santai. Wanita itu berdiri sambil menggendong Biyan.

"Kamu nyebelin aku jadi malu!"

Melihat Airin mencubit lengan dan perut Adrian membuat Biyan tertawa senang.

"Tante beljenti nanti Om sakit."

"Tante mau bikin dia kesakitan, Sayang!"

"Sayang - aw! Aku minta maaf, oke?! Itu Kakakmu minta bukti kalau aku sudah berhasil ngelamar kamu di sana, hai ganteng! Kenalin nama Oom Adrian."

"Biyan Oom."

"Oom ada bawa oleh-oleh buat kamu, suka mobil?"

Biyan berteriak senang, "Biyan suka mobil!"

Airin kembali membawa Biyan duduk dengan wajah menahan malu.

"Ikut gabung, bro." Hardi menunjuk satu kursi di samping dirinya.

"So, kapan lo nikahin cepat Adik gue?"

"Gue maunya cepat tapi tergantung Adik lo, nanti gue dikira maksa - aw!" Adrian meringis Airin yang duduk di hadapannya menendang kakinya.

"Sakit Sayang,"

"Jangan panggil Sayang! Memalukan!"

Hardi, Maudy, Fara bahkan Biyan menyaksikan hal itu dengan penuh tawa. Bagi mereka kebahagiaan Airin adalah hal utama ingin mereka lihat setelah dua tahun lamanya.

"Adrian so sweet deh Rin, Kakakmu aja nggak seromantis itu." Maudy menyindir Hardi.

"Kok aku kena juga Nda? Aku juga romantis kok."

Airin rasanya ingin muntah kalau tidak ingat ada Biyan dipangkuannya. Sedangkan Maudy dan Hardi saling berkedip mata tanpa ingat sedang berada di mana.

. . . . .

Airin sedang menyalin isi laporan keuangan ke dalam laptop ketika ketukan pintu membuyarkan fokusnya.

"Masuk."

"Permisi Bu." Lisa masuk dan berjalan menghampiri dirinya.

"Iya Lis, ada apa? Wajah kamu seperti kesal begitu?"

"Di luar ada Nenek sihir Bu."

Airin mengernyit, "Nenek sihir?"

"Itu Arumy, alias Rumy, alias Nenek sihir."

"Ngapain dia ke sini? Saya tidak ingin bertemu dengannya."

Airin merasa trauma bukan karena takut lebih kepada dia tidak ingin mengingat kejadian dua tahun lalu. Kejadian di mana dia bertindak bodoh dan kehilangan seseorang dia cinta semua karena Arumy.

"Saya sudah panggil penjaga Bu dan seben -"

Tiba-tiba saja pintu ruang kerjanya dibuka kasar.

. . . . .

Adrian baru tiba di kantor saat jam menunjukkan pukul 08.12. Dia terjebak macet dan sekarang sambil menunggu lift terbuka dia sibuk merapikan dasinya.

"Pagi Pak Adrian." Sapa salah satu pegawainya kebetulan sedang lewat.

"Pagi." Balas Adrian senyum.

Drrt ... drrt ...

Ponselnya bergetar dia menghubungkan panggilan, "Halo?"

"Halo bro, apa kabar?"

Adrian menjauhkan ponsel melihat nomor asing tertera dilayar.

"Maaf, siapa?"

"Elo nggak kenal suara gue? Oh iya gue ganti kartu, simpan yang ini, oke? Gue Bagas teman lo."

Adrian berseru senang, "Gue pikir siapa, apa kabar lo?"

Lift terbuka dan Adrian segera masuk.

"Gue baik, kita jarang ngumpul sekarang sejak lo tugas ke Jerman. Gue tau lo dan Arsyaf sama-sama sibuk."

"Sulit buat gue ada waktu, tapi siang ini gue free mau ngumpul bareng? Lo bisa ajak yang lain kita janjian ketemuan di resto gue."

"Oke, gue kasih tau yang lain."

. . . . .

"Kenapa kamu menatap saya seperti itu? Setelah kamu menerobos masuk dan membuat keributan dengan sekretaris saya, langsung saja mau bicara apa? Saya sibuk tidak punya banyak waktu."

Arumy tersenyum menyandarkan tubuh di kursi dengan santai.

"Saya menatap Ibu oh, maaf, bukan Ibu lagi 'kan ya? Saya sudah tidak kerja di sini. Saya sedikit canggung karena kita sudah lama tidak bertemu."

"Langsung ke intinya saja bisa?"

"Saya mau minta maaf atas kelakuan saya selama ini. Kenapa baru sekarang? Karena saya sadar bahwa cinta tidak bisa dipaksa. Saya sadar setelah mendengar kabar kalau Anda, akan segera melangsungkan pernikahan dengan Adrian."

"Kamu tahu dari mana?"

"Walau saya sudah berhenti kerja dari sini, tapi saya masih punya teman bisa saya cari informasi."

"Ridwan?"

Arumy tersenyum, "Ya."

Airin menahan rasa kaget dan marah. Ridwan salah satu pegawai di kantornya Airin tahu, hanya Ridwan satu-satunya teman Arumy saat wanita itu masih bekerja dengannya.

"Kedatangan saya ke sini tidak bermaksud apa-apa. Saya hanya ingin mengucapkan selamat untuk pernikahan Anda nanti. Saya doakan semoga semuanya lancar dan satu lagi, saya sudah berubah kok bukan Arumy yang dulu lagi. Niat saya meminta maaf itu tulus, permisi."

Setelah Arumy berlalu pergi Airin mengusap wajah tanda frustasi. Bukan dia tidak ingin memaafkan Arumy hanya saja dia perlu waktu untuk melupakan kenangan penuh akan penyesalan dan kebodohan, karena pernah mempercayai perkataan dari wanita itu dulu.

. . . . .

FATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang