INVISIBLE

271 72 14
                                    

Seperti pisau yang tak kasatmata menghunus tepat di jantung. Apa yang harus aku lakukan? Untuk mengobati segala rasa yang semakin menyakitkan ini?

- Airin

. . . . .

Airin berjalan duluan meninggalkan Dinda yang masih di dalam restoran karena sahabatnya itu pergi ke toilet. Dia tidak ingin menunggu di dalam restoran melainkan lebih memilih menunggu di dalam mobil. Airin sibuk mencari di mana keberadaan kunci mobil di tasnya tapi langkah kaki wanita itu terhenti.

Di depan sana dia melihat Adrian sedang bersandar di samping mobilnya. Dan tanpa bisa dicegah debaran kencang itu hadir bersama luapan perasaan yang lagi tidak dapat untuk sekedar fokus.

"Hai, Airin."

Adrian menyapa dirinya untuk pertama kali meskipun bukan sapaan seperti sering dia dengar. Airin berusaha untuk menjadi wanita kuat tapi berhadapan langsung dengan pria dia cinta hanya membuatnya menjadi wanita lemah.

Sedangkan Adrian akhirnya melihat wanita itu keluar dari restoran, dia segera menegakkan tubuh dan menghadap wanita itu yang berdiri diam beberapa langkah di depan sana.

"Nama lo benar Airin? Lebih tepatnya Airin Chintya Naufa?"

Meskipun terlihat lemah tapi Airin masih berusaha untuk menahan air matanya.

"Gue tau dari mana nama lo nggak penting juga buat lo tau. Karna sekarang mau gue tanya napa kita sering ketemu nggak sengaja kayak gini? Kalo lo masih ingat ini pertemuan empat kali."

Airin mengambil langkah mundur dia tidak ingin menangis lagi di hadapan Adrian. Airin memutar tubuhnya untuk kembali masuk ke dalam restoran tapi secepat itu Adrian menghadang langkah kakinya.

"Elo belum jawab pertanyaan gue. Jadi lo nggak bisa main pergi lalu abaikan gue."

"Mi, minggir ..."

"Nggak."

Airin berusaha melewati Adrian tapi pria itu semakin menghadang dirinya. Airin yang sejak tadi menunduk kini mendongak menatap wajah itu.

"Mau kamu apa ...? Kamu kenapa seperti ini?"

Adrian merasakan jantungnya tiba-tiba saja seakan berdebar sakit. Mendengar suara lirih dan air mata itu kembali menghiasi wajah itu.

Melihat Adrian yang diam membuat Airin berusaha pergi, tapi tetap saja pria itu dengan kuat menghadang langkah kakinya.

"Biarin aku pergi kumohon ...?"

"Elo yang napa?! Ini aneh harusnya gue nggak perlu pusing pikirin keanehan lo. Tapi napa setiap kita nggak sengaja ketemu lo selalu nangis? Itu yang mau gue tanya!"

Airin menutup wajah menggunakan kedua tangannya dia menahan isak tangis, "Aku mau lewat ..."

"Jawab dulu gue nanya! Apa kita saling kenal?"

Hatinya terasa sakit Airin merasakan pisau tak kasatmata seakan menyayat hatinya dan dia tidak lagi bisa untuk sekedar kuat.

"Minggir kumohon ...?!"

Airin menangis pedih dia membiarkan Adrian menatapnya kebingungan sekarang.

"Elo ngerti bahasa manusia?"

Sebuah suara menyapa dirinya membuat Adrian menoleh ke belakang.

"Dia dari tadi minta lo buat minggir, tapi lo nggak kasih dia jalan."

"Oh, kebetulan kali lo temannya, kan? Gue mau tanya dia anak orang kaya, gue tau karna dia ternyata salah satu klien gue. Napa nggak bawa dia ke psikiater? Iya maksud gue mungkin teman lo nih lagi sakit? Karna tiap kali ketemu gue dia selalu nangis coba lo bayangin aneh, kan? Gue nggak kenal sama teman lo mending masukin saran gue ke daftar agenda lo nanti. Gue yakin pasti bakal guna soalnya dia tuh butuh psikiater -"

Bunyi cukup keras dari sebuah tamparan mengenai pipi kiri Adrian. Menciptakan kesunyian yang mendadak hadir setelah perkataan panjang lebar darinya barusan. Adrian memandang tidak percaya dan sedikit kaget kepada seorang wanita asing dia menebaknya wanita di hadapannya rekan kerja dari wanita aneh bernama Airin.

"Gue peringatin lo jangan pernah ngomong nggak lo tau sama kali. Sahabat gue simpan banyak luka dan dia nggak butuh saran dari pria berengsek kayak lo."

. . . . .

FATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang