STRANGE SOUND

301 37 12
                                    

Suara itu terus saja mengusik pendengaran, membuatku mulai bertanya suara apa itu? Mengapa terus saja datang dan tak kunjung pergi?

- Adrian

. . . . .

Pernikahannya dengan Arumy akan berlangsung tiga hari lagi. Baik keluarga Adrian maupun keluarga Arumy sedang semangat mempersiapkan acara nantinya diselenggarakan secara mewah.

Untuk menghilangkan rasa jenuh sesaat Adrian memutuskan jalan-jalan seorang diri karena Arumy sedang sibuk di salon. Dia akan berkeliling di kota Bern bersama kamera di tangannya, kota yang baru pertama kali dia datangkan terlihat cantik serta memanjakan mata.

Dan saat ini dia sedang berada di depan Zytglogge Bern, Swiss. Sebuah menara jam terletak tepat di jantung kota. Adrian tersenyum sebelum mengabadikan objek tersebut melalui kamera.

"Aku ingin melanjutkan dongeng, yang pernah kamu kasih tahu."

"Kamu masih ingat cerita itu?"

"Dongeng kamu sebelum tidur judulnya, Little Naobella."

"Kamu ternyata benaran cinta aku ... sampai dongeng yang pernah aku ceritakan kamu masih ingat ..."

Konsentrasi Adrian mengabadikan objek di depan sana pecah begitu saja. Adrian melihat sekelilingnya dia mendengar suara-suara asing itu lagi, suara yang sama persis saat dia berada di dalam pesawat.

"Percaya atau nggak aku memang sudah jatuh cinta padamu, saat pertama kali kita bertemu, sugar."

"Bukankah itu pertemuan nggak menyenangkan?"

"Kata siapa? Bagiku itu menyenangkan karena untuk pertama kali, aku bertemu wanita segalak dirimu."

Adrian tidak tahan dengan suara-suara mengganggu karena itu asing dan begitu aneh. Dia memutuskan pergi menjauh dari menara jam di hadapannya ingin menenangkan diri karena masih berpikir bahwa dia hanya sedang mengalami kelelahan.

"Ya Tuhan, apa aku sudah gila? Kenapa suara-suara aneh itu terus mengikuti?"

. . . . .

Suara-suara aneh yang tadi sempat mengganggu pikirannya tidak membuat Adrian kehilangan semangat. Dia tetap melanjutkan hobi mengabadikan segala macam objek menarik perhatian matanya. Meskipun hanya beristirahat sebentar dan memilih salah satu kafe terdekat kemudian lanjut lagi dengan hobinya.

Sekarang dia sibuk mengabadikan pemandangan kota Bern dari balik jendela bus. Pria itu tersenyum memandang hasil jepretan yang lumayan bagus.

"Kita mau ke mana? Kok pakai bus? Seru jalan kaki biar bisa nikmati suasana."

"Kamu lihat nanti, sugar. Nikmati pemandangan kamu juga bisa lihat dari balik jendela."

Senyum Adrian menghilang begitu saja saat suara itu muncul terus seperti tidak berhenti untuk mengganggunya.

"Aku akan bawa ke mana pun tempat kamu inginkan dan aku akan mewujudkannya, asal aku bisa melihat senyum ini setiap hari."

Adrian mengusap wajahnya karena dia sekarang mulai merasakan frustasi.

. . . . .

"Kalau sampai terjadi sesuatu sama Airin bagaimana Hardi? Mama nggak akan sanggup,"

Hardi berusaha untuk tidak menangis, dia berusaha untuk kuat setidaknya seperti itu terutama di hadapan Mamanya, "Percaya sama aku Ma, kalau Airin akan bertahan untuk kita. Kalau Airin nggak akan bikin Mama sedih seperti ini lagi."

"Tapi sudah hampir dua puluh empat jam sejak dia ditangani dokter, tapi kenapa sekarang belum sadar juga? Katakan apa yang harus Mama lakukan untuk Airin? Agar dia nggak ikut pergi meninggalkan Mama ... seperti kepergian Papa dan Adikmu Andra ...?!"

Dinda yang menyaksikan semua tidak lagi bisa menahan tangis, dia tadinya berusaha untuk kuat tapi menyaksikan semua di depan mata, lalu sekarang tangannya digenggam Maudy untuk memberikan kekuatan justru hanya membuatnya menjadi wanita lemah.

"Tante lagi tidul ya di dalam? Tidulnya kok lama? Biyan aja cuma bental,"

Maudy menangis dalam diam. Diciumnya kepala anaknya yang sudah hampir terlelap di bahunya tapi masih ingin bertanya bagaimana kabar Tantenya.

"Iya Sayang Tante lagi tidur, lagi mimpi indah makanya belum mau bangun." Ucap Maudy berusaha mengendalikan tangis.

"Iya ... Tante lagi tidul, Tante pasti mimpikan Biyan." Ucap balita kecil itu tersenyum sebelum benar terlelap dalam pelukan Mamanya.

Dinda menutup wajahnya menggunakan kedua tangan karena dia menangis dan masih berusaha kuat tapi dia gagal. Berdiri di depan pintu ruangan sahabatnya dirawat melihat Airin terbaring tidak sadarkan diri membuat hatinya seakan hancur dan rasa sakitnya benar tak kasatmata.

. . . . .

FATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang