Seperti biasa, setelah bersiap-siap dan sudah rapi dengan seragam sekolahnya. Disya langsung menuju ke meja makan untuk sarapan pagi. Di atas meja sudah tersedia berbagai hidangan sarapan, ia memilih untuk menikmati nasi goreng pagi ini dan juga ditemani dengan segelas susu coklat.
Disya menikmati hidangan nasi gorengnya sendirian, hanya suara dentingan sendok dan garpu yang saling beradu menemaninya pagi itu. Ia sudah terbiasa dengan kesunyiannya.
Tapi, walaupun begitu ia masih bersyukur orang tua-nya selalu menyempatkan waktu berkumpul dengannya di sela-sela kesibukannya. Berbeda dengan orang tua Tristan yang hanya sibuk dengan pekerjaannya dibandingkan dengan keluarga.
Berbicara tentang Tristan, laki-laki itu akan menjemputnya pagi ini. Yah, sudah sekitar seminggu mereka sama sekali tidak pernah bertemu, terakhir saat mereka berdua di hukum di lapangan waktu itu. Tristan, laki-laki itu sangat sibuk akhir-akhir ini. Dan Disya selalu bersama dengan Gio. Sampai untuk menemui Tristan saja, Gio melarang keras Disya dan tentu saja mengancamnya. Dan mau tidak mau Disya harus menuruti.
Entah keberuntungan saat ini berpihak pada Disya, hari ini Gio tidak datang menjemputnya, melainkan Tristan yang sangat ia rindukan.
Selesai dengan ritual paginya, Disya langsung keluar rumah. Tidak lama, setelah itu Tristan datang menjemputnya.
Tristan segera turun dari motor lalu membuka helm. Disya menyambutnya dengan seluas senyum. Ia sangat merindukan Tristannya.
"Udah nunggu lama?" tanya Tristan sembari mengelus puncak kepala Disya seperti biasa.
Disya menggeleng pelan, "Baru aja keluar, kok."
"Yaudah kita berangkat yah!"
Disya mengangguk menyetujui.
Tristan memasangkan helm untuk Disya. Laki-laki itu memang sangat perhatian. Tak pernah sekalipun ia melewatkan hal tersebut saat Disya akan naik motor bersamanya.
Disya hanya bisa tersenyum lega. Ia benar-benar bahagia. Setidaknya, selama satu minggu kedekatannya dengan Gio, dan selama itu juga ia dan Tristan jarang sekali bertemu. Tapi semua itu, tidak membuat perhatian dan kasih sayang Tristan berkurang sedikit pun.
Tristan naik ke motornya kemudian memasang helm full face-nya. Setelah itu ia menyalakan mesin motor, lalu Disya naik ke motor Tristan.
Disya memeluk pinggang Tristan dan bersandar di bahunya. Tristan mengelus tangan Disya sebentar, kemudian motor yang mereka tumpangi bergegas menuju ke sekolah.
Karena masih pagi, kendaraan pun tidak terlalu banyak. Kondisi jalanan pun masih renggang. Tristan menarik gas motornya sehingga laju kendaraan semakin bertambah.
Disya semakin mempererat pelukannya pada Tristan. Ia sama sekali tidak takut dengan kecepatan motor Tristan. Selagi dia bersama Tristan. Disya yakin, Tristan tidak akan membuat dirinya terluka.
Tristan yang baru menyadari jika laju kendaraanya sangat kencan. mulai menurunkan laju motornya. Semua itu karena terlintas dipikirannya bayangan Disya dan Gio yang sepertinya memang sudah cukup dekat akhir-akhir ini.
Emosinya terpancing, rasa cemburu membakar tubuhnya. Walaupun begitu ia harus berpura-pura baik-baik saja dihadapan Disya. Jangan kira selama ini, Tristan tidak memerhatikan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia Adalah MusuhKu
Teen FictionMendengar kata "MUSUH" apa kata yang tepat untuk mendeskripsikan itu semua? Benci? Yah. jawabannya sudah sangat jelas. Bahkan tidak ada sekalipun orang di dunia ini yang tidak membenci musuhnya sendiri. Namun banyak orang-orang yang beranggapan jik...