FERA segera mengatur ulang waktu di gawainya. Dayanya masih penuh mengingat ia sudah mengisinya di halte bus tadi.
Wira menatap serius Fera yang sedang mengotak-atik isi gawainya. Ia lagi-lagi dibuat tak habis pikir soal kenapa benda tipis itu sangat menakjubkan.
"Ah! Gue inget," gumam Fera. Ia membuka galeri dan menggulir layar hingga ke bawah.
"Ada apa, Fera?" Pria itu duduk berjongkok mendekat. Mereka masih di tempat yang sama. Sudah sekitar 1 jam mereka bertahan di balik semak sambil menunggu matahari terbit. Saat Wira hendak bergegas tadi—dan setelah bercakap ria soal sejarah dengan Wira—Fera memberi usul agar mereka berangkat saat mentari terbit saja.
Jadilah dua orang tersebut duduk di balik semak dengan nyamuk berdenging di sekitar mereka. Udara dingin tak ketinggalan untuk menyempurnakan sepertiga malam itu.
"Aku punya video dokumentasi tentang proklamasi!" seru Fera tertahan.
Wira menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Ia tak paham maksud gadis itu. Bahkan tak tahu menahu maksud kata 'video' itu sendiri.
Setelah menggulir dan menggulir, Fera akhirnya menemukannya. Tugas sekolah minggu lalu tentang membuat klip video dokumentasi akhirnya berguna juga.
Gadis itu segera menekan tombol 'play' yang muncul di tengah layar. Ia mendekatkan dirinya ke Wira untuk menunjukkan video hasil buatannya.
Wira hampir tak berkedip. Ia seolah melihat kotak ajaib dari negeri kayangan.
"Wira, fokus sama isinya," bisik Fera.
Pria itu buru-buru berdehem. "Maaf." Ia kembali memfokuskan matanya untuk menyimak layar berwarna itu.
Tiba di bagian suara pembacaan proklamasi, Fera menjelaskan, "Nggak ada rekaman video saat proklamasi. Yang ada hanya foto. Suara ini aja disiarkan lewat radio beberapa tahun kemudian."
Wira mengangguk-angguk. Ia sedikit terharu saat mengetahui negeri ini merdeka.
Usai menonton video tersebut, mereka kini mendiskusikan apa langkah selanjutnya yang akan diambil.
"Kita langsung ke rumah B.M Diah?" tanya Fera.
Wira tidak mengangguk, tidak juga menggeleng. "Sayangnya kita tidak tahu di mana rumah beliau."
Fera mengangguk lesu.
Plak!
Nyamuk kembali menggigit salah satu bagian tubuhnya yang tak tertutup pakaian. Fera melipat tangannya di dada. Udara juga semakin dingin saja.
"Mau pakai bajuku?" tanya Wira spontan.
Fera reflek menggeleng. "Kamu gila?" Gadis itu menatap pakaian kusut yang dikenakan Wira.
"Saat-saat seperti ini, mencegah kematian itu lebih penting." Wira menjelaskan. Suara kokokan ayam terdengar tak jauh dari mereka duduk.
"Nggak mau. Aku nggak mau pakai baju bau," gumam Fera pedas.
Pria itu tampak tersinggung. "Apa kamu bilang? Bajuku bau?" Ia mendelik.
Fera menelan ludah. Wira sepertinya sangat tersinggung. Mengingat gadis itu tak memiliki teman selain Wira di tempat ini, gadis itu buru-buru meralat, "Ma-maksudnya, baju yang udah dipakai orang lain. Kan udah kena bau badannya. Eh?"
Gadis berambut panjang itu salah tingkah. Ia merutuki dirinya sendiri. Dari dulu kemampuan berucap pedas memang tak pernah luntur dari dirinya.
Wira yang melihat reaksi lucu Fera terkekeh. "Aku tahu, Nona. Tak perlu kau jelaskan. Lagipula, hanya ini pakaian yang kukenakan. Agak sayang jika aku harus memberikan sepotong pakaianku untukmu. Karena aku pasti akan lebih kedinginan," ujar pria itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
24 Jam |✓
Historical FictionFera tak sengaja menabrak prajurit yang datang dari masa lalu! Apa? Masa lalu? *** R: 13+ Cerita ini dipersembahkan untuk ipen laknat peso 2020 ©Ran Sya 2020