Bagian 7: Panas Matahari

465 110 14
                                    

WIRA dan Fera akhirnya setuju menunggu acara usai dan menemui Burhanuddin setelahnya.

Mereka berdua terus bergandengan tangan. Mengikuti diam-diam ke mana Burhanuddin melangkah.

Saat tokoh yang dicarinya itu melangkah menuju pelataran, Wira dan Fera buru-buru mengikutinya di antara kerumunan yang masih belum bubar. Juga saat Burhanuddin sekarang berada di bawah pohon, dua orang yang kini sudah terjebak di kerumunan itu bersusah payah keluar darinya.

Hingga Fera teringat sesuatu. "Wira, panggil namanya," ujarnya seraya menyeka peluh di dahi. Dari tadi tangannya ditarik ke sana ke mari oleh Wira. Tentu saja gadis itu tak kuat lagi.

Wira mengangguk. Ia segera mempercepat langkahnya sebelum Burhanuddin pergi meninggalkan acara.

Setelah memanggil namanya berkali-kali sambil sedikit berlari, akhirnya mereka tiba di depan tokoh yang nantinya akan menyimpan naskah asli proklamasi hingga berpuluh-puluh tahun mendatang.

Burhanuddin menatap 2 orang di depannya dengan bingung. Ia sama sekali tak mengenal pasangan tersebut.

Wira segera bercerita ini itu tentang dirinya dan Fera adalah penggemar Burhanuddin saat masih menjadi penyiar radio.

Lalu lama kelamaan percakapan menjalar menuju proklamasi. Beralih kemudian ke naskah asli proklamasi yang terdapat banyak koreksinya.

Burhanuddin pamit setelah Fera pura-pura menanyakan soal naskah asli tersebut. Dilihat dari gelagatnya, ia sepertinya akan segera mencari kertas tersebut di tempat sampah kediaman Laksamana Maeda.

Fera dan Wira akhirnya mengembuskan napas lega. Misinya ternyata sudah mereka selesaikan. Lalu apa?

Di sepanjang jalan menuju rumah Ningsih—mereka memutuskan kembali ke rumah itu—Fera dan Wira mengobrol tentang banyak hal.

"Dulu aku adalah anak petani miskin. Tak kusangka aku bisa menjadi salah satu prajurit terbaik sekarang," ungkap Wira.

Gadis di sebelahnya hanya mengangguk-angguk. "Bukan sekarang, tapi beberapa tahun lalu," ralat Fera.

Wira terkekeh. Ia mengusap puncak kepala Fera. "Iya, Nona. Kau benar."

Fera tertawa. Ia juga tak menyangka bisa sampai di tempat ini. Dan bertemu dengan orang seperti Wira.

"Ngomong-ngomong, aku mau ambil foto buat kenang-kenangan sebelum bateraiku habis." Fera mengeluarkan benda persegi panjangnya dari saku.

Saat hendak memegang dengan dua tangan, gadis itu tersadar. Tangan kirinya masih menempel di genggaman Wira.

Pria itu memasang wajah takjub. Wira menunggu gadis itu mulai mengoperasikan benda ajaib tersebut. Dengan polosnya ia nyeletuk, "Ra, kenapa tidak segera menyimpan gambar?"

Wajah Fera memerah. Ia menunjuk tangan kirinya yang masih digenggam Wira sedari tadi. "Tangan," lirihnya.

Wira terlonjak. Ia buru-buru melepaskan genggaman tersebut. Ia sama sekali tak menyadari sudah menggandeng tangan Fera sejak tadi.

"Ah, maafkan aku." Wira mengusap belakang lehernya canggung. Ia pura-pura menatap langit.

Fera mengangguk. Untuk mengurangi rasa canggung, gadis itu mencoba memotret pemandangan di sekitarnya. Lalu memotret Wira yang sedang memasang wajah serius. Tanpa sadar mereka sudah ber-selfie ria.

Wira terheran dengan efek yang digunakan Fera. Ia kaget kenapa tiba-tiba ada telinga kucing di kepalanya. Atau mungkin kacamata yang tiba-tiba muncul di layar, membuat Wira tak henti-hentinya berdecak kagum.

Fera tertawa melihat itu. Baginya, sifat Wira itu menggemaskan. Ia kemudian menyilakan tunangan palsunya itu untuk ber-selfie sendiri. Awalnya pria itu ragu, tapi setelah beberapa menit, Wira terlihat seperti sudah terbiasa dengan hal itu. Ia hanya berseru-seru takjub saat tiba-tiba muncul kumis kucing di pipinya, atau sekadar bertanya-tanya kenapa wajahnya tiba-tiba ada stiker hewan-hewan?

Mereka duduk di ujung lapangan berumput. Di seberang sana, rumah Ningsih sudah terlihat. Sebelum mereka ke sana, Fera ingin menghabiskan waktu berdua dengan Wira—entah apa yang merasukinya.

Fera tanpa sadar memperhatikan pria itu lekat. Senyumnya yang menawan. Hidung mancung alami, bahkan pipinya yang berlesung menambah kesan manis saat pria itu tersenyum atau tertawa.

Sorot matanya tajam. Dahinya yang mengernyit membuat mata Fera tersadar betapa tebalnya alis Wira. Kulit Wira sawo matang dengan rambut hitam cepak. Hingga tak terasa, Fera sudah khatam menghafal lekuk wajah Wira.

"Ra, siapa ini?" Wira menunjukkan layar gawai tepat di depan wajah Fera. Hal itu membuat gadis yang tadinya asyik mengagumi wajah Wira terlonjak.

"Ha? Apa?"

"Ini sungguhan kamu? Apa di abad itu mencium pipi seorang pria dibolehkan?" tambah Wira.

Fera menelan ludah. Kenapa Wira bisa membuka album foto? Batin gadis itu kaget.

Terpampang jelas, foto Fera tengah mencium pipi Vino—pacarnya—saat di dalam mobil. Sepertinya saat itu mereka gabut menunggu macet lalu tak sengaja berfoto-foto di dalam mobil.

"I-itu pacarku, kekasihku." Fera menggaruk pelipisnya dengan patah-patah.

Tatapan Wira berubah kosong. Ia sekarang paham, kenapa Fera bisa dengan mudahnya mengaku-ngaku ke orang di sekitar kalau berdua adalah tunangan. "Fera, apa kau akan menikahinya?"

Fera buru-buru menggeleng. "Lo gila? Ya enggaklah. Kita kan cuma pacaran!"

Wira tambah tak paham maksud perkataan gadis itu.

"Lalu?"

"Ya kita kan cuma pacaran. Nggak ada rencana nikah. Ka-kalau ujungnya kita nikah, berarti kita emang jodoh," jelas Fera kalap.

Wira mengangguk. "Kadang aku berpikir, di mana otakmu berada," gumam pria itu lirih.

"Apa?!"

Wira tersenyum miring. Matanya kembali fokus menatap layar ponsel mik Fera. Sementara telunjuknya menggulir-nggulir album foto.

"Maksudku, kenapa kalian berhubungan kalau berujung tak menikah? Bukankah itu hanya membuang-buang waktu saja?" Wira kembali menatap manik mata Fera.

"Bu-bukan gitu," cicit Fera. Entah kenapa dia takut.

Wira mengangguk-angguk. "Nona, sepertinya kau perlu berpikir dua kali jika hendak menikah dengan pria ini."

"Ha?" Mata Fera melebar. "Kenapa?"

"Lihat saja kulitnya yang seperti perempuan ini. Lihat juga bibirnya yang kenapa mengkilat. Astaga ... lengannya kurus sekali. Apa dia kuat mengangkat barang dengan lengan sekurus ini?" cibir Wira menunjuk-nunjuk layar gawai.

Fera menepuk dahi. "Aku tahu. Tapi dia tampan," gumamnya sedikit kesal.

Wira tiba-tiba menoleh. "Tampan? Seperti apa pria tampan di matamu, Nona? Apa pria dengan wajah cantik ini tampan?"

Fera mengusap wajahnya yang kebas. Kenapa Wira jadi secerewet ini?

"Buatku. Tampan itu yang kalo senyum atau ketawa keliatan manis," ujar Fera sambil menerawang jauh. Menurutnya, Vino sangat manis saat tertawa. Akhir-akhir ini dia jarang bertemu Vino karena lelaki itu sibuk dengan kuliahnya.

"Manis? Gula?" Wira mengernyit. Setidaknya ia paham saat Fera menggunakan bahasa-bahasa gaul. Tetapi mendengar perumpamaan manis untuk sebuah tawa, itu cukup tak masuk di akal.

Fera mengangguk. "Iya! Manis tuh pas dia senyum atau ketawa, kita yang lihat jadi gemes sendiri. Atau minimal pengen cubit pipinya lah," jelas gadis itu.

"Tapi senyummu manis, Fera. Apa itu artinya kau tampan?"

***
Bersambung
.
(1023 Kata)
.
(Sabtu, 1 Agustus 2020)

24 Jam |✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang