"Gendeng"
Satu kata yang spontan diucapkan Hangyul ketika melihat Mark menghampirinya dengan sekardus boneka Barbie. Baru saja ia akan mengambil tahu isi di depannya. Si pemilik warung ikut cengengesan melihat tingkah pembeli barunya itu.
"Lu ngapain bawa boneka sekardus, heh!" Hardik Hangyul.
Mark hanya tertawa renyah. "Mamanya Sonya yang kasih."
"Ha?"
"Katanya Sonya gak mau Barbie lain kecuali yang gue bawa. Mamanya beliin Barbie sebanyak ini tetep ga diterima. Hihi, lucu ya." Ucap Mark melanjutkan kalimatnya. Ia duduk di sebelah Hangyul.
"Mba, chocolatos panas satu!" Ucap Mark sambil mengambil tahu isi dari nampan.
"Chocolatos mah kagak ada dek yang panas." Jawab mbak pemilik warung keheranan.
Hangyul buru-buru menginterupsi. "Maksudnya teh panas mba. Anaknya emang suka ngaco."
Mbak pemilik warung hanya ber'oh' ria kemudian berlalu ke dapur.
"He bang! Lu kaga inget ini tahun berapa?" Bisik Hangyul sambil menjitak Mark. Yang dijitak hanya tertawa renyah.
"Sori bro, lupa."Mark dan Hangyul merupakan tetangga di desa. Mereka berteman sejak Mark pindah dari Kanada ke desa mereka. Hangyul sendiri tidak terlalu peduli dengan asal Mark. Ia sendiri selalu menyebut Mark dengan 'bule nyasar' sewaktu kecil. Karena memang begitu. Mark jarang menggunakan bahasa Inggris. Mark suka musik keroncong, yang membuat Hangyul mencurigai kalau sebenarnya Mark lahir di Menteng, bukannya Kanada. Mark suka makan sop iga buatan ibu Hangyul. Tak lupa, Mark suka Sonya, tapi itu dulu.
Sonya adalah teman sekelas Mark dan juga tetangga Hangyul dan Mark. Hangyul tidak terlalu mengenal Sonya, karena dia tidak terlalu akrab dengan perempuan sejak kecil. Maklum, kerjaannya main bola melulu. Karena itu, Mark mengenal Sonya dengan sendirinya. Mark yang merupakan kakak kelas Hangyul langsung berubah aneh ketika bertemu Sonya pertama kalinya di SD. Tambah aneh lagi ketika Mark tau dia sekelas dengan Sonya. Waktu itu, hampir tiap hari Hangyul mengantarkan amplop dari Mark ke rumah Sonya. Di lain waktu, Mark menitipkan coklat untuk Sonya yang tentunya Hangyul makan saat Mark sudah pergi. Coklat adalah komoditi mahal bagi kantong Hangyul saat itu.
"Lu kenapa?" Tanya Mark saat melihat Hangyul tersenyum-senyum sendiri.
"Ah, gapapa. Lagi nginget-nginget aja masa kecil. Btw, Sonya gimana kabarnya?" Tanya Hangyul mengalihkan topik.
Mark menggaruk tengkuknya. "Cantik," jawabnya tersipu.
"Goblok, gue tanya kabarnya bukan fisiknya," respon Hangyul kesal.
"Hehehehe," tanggap Mark sambil cengengesan.
Hangyul menyeruput kopinya sedikit. "Lagian lu tuh ya, bucin kira-kira dikit ngapa. Kalau sampai ngumpetin mainan orang dari SD sampai kuliah itu namanya ngutil!" Cerocos Hangyul.
"Ya gimana ya bro, gue maunya dekat terus sama Sonia." Bantah Mark sambil tersenyum, menyadari betapa bodohnya dia mengenai urusan cinta.
"Logika lo waktu SD kayaknya gak jalan bro," timpal Hangyul dengan nada sebal.Sesudah itu hening. Percakapan mereka seolah diputus oleh riuhnya jalanan. Suara klakson mobil, suara televisi milik ibu warung, dan suara keributan kernet angkutan di depan warung.
"Pulang yuk bro," ajak Hangyul. Ia menyerahkan uang seribuan berjumlah sepuluh.
"Kenapa uangnya seribuan gini sih kang?" Protes ibu warung saat menerima lembaran seribuan yang sudah lecek dari Hangyul.
"Yaelah mpok, adanya cuma itu," balas Hangyul sewot.Tidak mungkin Hangyul memberikan uang kertas dengan nominal di atas seribu. Tahun 2020, uang-uang tersebut sudah berganti desain. Hangyul tidak mau dituduh memberikan uang palsu dan dikeroyok warga setempat. Memang bar-bar warga Indonesia ini kalau ia pikir.
"Makasih ya mpok!" Teriak Hangyul sambil menarik tangan Mark keluar warung.
"Iye."-c-

KAMU SEDANG MEMBACA
PORTAL
Fanfiction"...lu bisa keluar lewat portal lain kan?" Mark menelan ludahnya. "Gue gak yakin, Gyul." Hangyul menggaruk kepalanya yang tidak gatal, ia lupa ini kali pertama Mark menggunakan lorong waktu. Ini kisah Hangyul dan Mark, dua remaja yang nekat mengguna...