dua

15 2 0
                                    

Getaran pada ponselnya sangat mengganggu. Ini masih jam pelajaran. Ia tahu siapa pelakunya. Siapa lagi kalau bukan Keinarra Mikanadira. Gadis itu sejak pagi kesal padanya. Iya, setiap hari tanpa mendapatkan murka dari gadis itu rasanya tidak mungkin. Ia bahkan selalu punya seribu satu cara agar gadis itu takkan marah lagi padanya.

Panggilan itu berakhir dan digantikan oleh sepuluh pesan singkat yang gadis itu kirim. Menyuruh dirinya segera pergi ke kantin saat itu juga. Mau tak mau ia bangkit dari duduknya, meminta izin ke toilet dan berlari untuk menjumpai gadis gila itu.

Dari kejauhan ia melihat gadis itu sedang menatapnya juga. Ia ikut duduk pada kursi yang membuat mereka saling berhadapan.

"Ada apa, Nad? Lo gila ya manggil gue pas guru killer itu ngajar dikelas gue?!"

"Temenin gue makan. Gue belum sarapan tadi," ucap Nadira tanpa menatapnya.

"Tapi, Nad. Gue harus..."

Nadira menatapnya dengan tajam," lo mau bikin gue makin kesel sama lo?"

Ia langsung membungkam mulutnya untuk tak mengeluarkan kalimat yang memancing emosi gadis dihadapannya. Ia hanya memperhatikan gadis itu, karena salah satu aturan dilarang bermain ponsel.

"Pulang sekolah temenin gue ke mall bentar ya. Mau ke toko buku. Ada yang harus dicari. Gue enggak nerima penolakan dari lo dan lo harus mau," titah Nadira sambil menunjukkan garpu kearahnya.

Ia mengangguk kepala dengan pasrah. Tak mungkin juga ia berbohong atau mencari alasan. Pasti gadis itu akan bertanya pada teman sebangku nya, Sargas. Langsung menyetujui tanpa basa-basi adalah jalan teraman untuk diri dan masa depan nya.

Tepukan pada kepala bagian belakang nya begitu keras. "Apa sih bang-," ia menoleh ke belakang dan melihat seseorang yang harus ia hindari. Gadis yang bersama nya langsung membeku ditempat.

"Bang apa?" Pria dengan kumis tebal itu menatap tajam kearah mereka berdua.

"I-itu pak a-anu," ucap dirinya yang terbata-bata. "Maksudnya bang--, abang bakso itu si bang Jali."

Pria itu langsung saja menarik daun telinganya begitu kuat, "oh ini katanya mau ke toilet? Kok ada disini hm?"

Ia mengaduh pelan sambil memegang telinganya. Ternyata guru bahasa Jerman, Pak Albe yang memergoki dirinya telah berbohong. Habislah dia kali ini.

"Kamu juga Nadira. Sedang apa disini? Kenapa malah makan?"

Daftra langsung menyela, "Nadira sakit pak, jadi dia harus sarapan. Lihat wajahnya pucat, Pak." Padahal kulit wajah Nadira memang seperti itu.

Pak Albe memperhatikan lebih jelas wajah Nadira. Beliau melepaskan kedua jarinya dari daun telinga Daftra. Cowok itu mengelus telinganya yang terasa sakit dan pasti itu memerah sekarang.

"Daftra! Sekarang kamu berdiri di lapangan sana dan hormat menghadap bendera. Untuk kamu, Nadira, selesaikan makan dan pergi ke UKS. Kamu sangat pucat sekali."

Baru saja ia ingin mengeluh saat diberi hukuman, Pak Albe sudah mendahului menarik telinganya sekali lagi dan menyeret paksa dirinya. Nadira yang melihat itu tentu saja mengejek dirinya dan tertawa menang. Sepanjang lorong menuju lapangan, murid-murid yang sedang belajar langsung melihat keluar jendela untuk menonton dirinya yang diseret paksa. Sangat memalukan Balas dendam yang sangat tidak setimpal. Tunggu saja.

Di sinilah dia sekarang. Hormat kearah tiang bendera di siang hari yang sangat terik. Waktu istirahat cukup lumayan lama, keringat sudah membasahi seragamnya, kaki dan lengan nya pun terasa kebas. Kalau bukan karena Nadira, ia tak akan pernah melakukan hal ini.

DaftraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang