-Ayana-
Alhamdulillah, akhirnya aku mendapat izin buat ketemu Ayah setelah beliau dipindah ke ruang rawat inap. Tapi ada satu hal yang membuatku tercengang tak percaya begitu masuk ke dalam dan menginjakkan kaki di sana, ruangan yang dipakai Ayah benar-benar mewah. Saking mewahnya, aku tidak merasa seperti sedang berada di dalam salah satu ruang inap rumah sakit. Aku seperti ada di sebuah kamar hotel bintang lima. Bahkan aku yakin, pemegang kartu BPJS kelas satu pun belum tentu bisa menggunakan layanan sebagus ini.
Tadi aku sempat balik lagi ke bagian resepsionis untuk memastikan apakah itu benar-benar ruangan Ayah atau bukan. Dan ketika sang karyawan mengangguk mengiyakan pertanyaanku, rasa penasaran kini menghantam diriku. Perasaan itu makin menjadi ketika perempuan berhijab itu memberitahuku kalau ada seseorang yang menempatkan Ayah di sana, bahkan seluruh biaya administrasinya juga sudah dilunasi.
Kira-kira siapa orang yang telah berbaik hati membantu ayahku? Apa dia orang yang menabrak beliau?
Ya, pasti dia yang menabrak Ayah. Pemberian ruang rawat inap mewah dan pelunasan biaya itu sebagai tanda pertanggungjawabannya karena sudah membuat ayahku masuk rumah sakit.
Namun ada beberapa pertanyaan lagi yang masih mengganggu pikiranku. Kenapa dia tidak mau datang ke sini dan menemui aku? Apa dia takut padaku? Tapi buat apa? Toh, aku juga tak akan memarahinya. Karena percuma, marah tidak akan membuat keadaan ayahku sehat seperti sedia kala.
Duduk di samping ranjang rumah sakit, aku menatap pilu lelaki yang paling aku cintai. Ya Allah, kenapa Kau memberi cobaan sebesar ini? Kenapa harus ayahku? Kenapa bukan aku saja? Aku rela terbaring di atas sana dengan kepala penuh luka dan mata tertutup, asal Ayah baik-baik saja.
Di saat aku sedang termenung memikirkan nasib kami, tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar dari belakang punggung. Aku berdiri, balik badan, dan berjalan ke arah suara itu berasal. Memutar kenop, aku menariknya ke dalam hingga celah di antara kusen dan daun pintu perlahan terbuka.
"Dokter Ilham?!" Aku terkejut ketika menemukan sosok tampan bertubuh tinggi menjulang yang sedari tadi menemaniku di sini, sekarang sedang berdiri tepat di hadapanku. "Kok masih di sini? Saya pikir tadi Dokter...."
Jujur, aku bingung mau berkata apa. Pasalnya tadi aku pikir dia sudah pergi karena waktu aku kembali dari resepsionis, lelaki itu sudah tidak ada di tempat.
"Saya tadi cuma ke toilet." Dokter Ilham akhirnya menjawab pertanyaanku.
"Oooh...." Aku manggut-manggut. Tapi detik berikutnya, dahiku seketika mengerut. "Sebentar! Dokter kok bisa tau ayah saya ditaruh di sini?"
"Hah! Oh, eh, i-itu... tadi... saya tanya sama resepsionis. Ya..., sama resepsionis," jawabnya, gelagapan.
Aku menatapnya dengan tatap selidik. Ada apa dengan lelaki di depanku ini? Kenapa dia seperti orang yang baru saja kegep melakukan kesalahan?
"Apa Bu Ana nggak ngizinin saya masuk buat jenguk ayahnya Ibu?"
"Oh, iya, Dok. Maaf. Silakan!"
Aku memundurkan badan ke belakang sembari menarik kenop pintu sampai celah di antara kami terbuka sempurna. Setelah Dokter Ilham melangkah melewatiku, aku pun menutupnya lagi dan kembali ke tempat semula.
"Dok, apa Ayah saya bakal lama sadarnya?" tanyaku setelah duduk di bangkuku tadi, sementara Dokter Ilham mengambil tempat di sebelah.
"Sebenarnya efek anastesinya udah nggak ada.Tapi masalah kapan Om sadar, saya nggak bisa mastiin. Itu tergantung seberapa parah lukanya dan seberapa cepat badan beliau merespons reaksi obat yang dimasukkan lewat infus. Biasanya pemulihan luka di kepala akibat benturan emang butuh waktu yang agak lama."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebening Cinta Ayana
Spiritual(Sebagian bab diprivate. Silakan follow dulu untuk membacanya!) Aku bertemu dengannya. Dia sosok lelaki yang selama ini aku impikan. Dia tampan dan sholih. Pekerjaannya juga sangat mulia, pekerjaan yang dulu pernah menjadi cita-citaku selama bertahu...