Chapter 1

67.8K 2.5K 9
                                    

-Raffahanna Aninditya Atmodjo-

Hurray! Akhirnya yang kuimpi-impikan menjadi kenyataan. Hari ini hari Sabtu, pukul 20.30 malam. Jam 9 tepat nanti keretaku berangkat. Ya! Kereta menuju Yogyakarta! Setelah berpuluh-puluh kali aku merajuk bunda dengan bantuan ayah, akhirnya aku berhasil mendapatkan izin dari bunda, aku senangnya setengah mati!

Dan di sini aku sekarang, duduk di tengah-tengah keramaian orang berlalu lalang, menunggu kereta mereka masing-masing. Ada yang berlari-lari karena ketinggalan kereta, ada yang sedang duduk-duduk bersantai sambil menyeruput kopi, bahkan ada yang sedang membaca koran sambil merokok. Ugh, aku benci rokok.

"Hanna!" terlihat seorang gadis dari ujung sana membawa koper sedang dan tas gemblok berwarna pink yang cukup besar. Akupun menyipitkan mataku kearah suara itu berasal.

"Laras!"

Rupanya gadis yang memanggilku tadi adalah Laras, Anatania Kamalaras Hendrawan nama lengkapnya. Sahabatku yang satu ini sangat amat feminim, jauh lebih feminim dibanding aku. Aku memang cukup feminim untuk ukuran wanita, tapi Laras feminimnya sudah melewati batas. Sebagian besar barang-barangnya berwarna pink entah itu handphone, buku catatan, tas, bahkan mobil pribadinya juga berwarna pink.

"Hai, akhirnya kamu datang juga. Aku pikir kamu akan ketinggalan kereta nanti"

"I-yya...a-ku...ke-siangan...huh" Laras tampak sangat ngos-ngosan. Jelas saja, pasti ia berlari-lari dari gerbang utama stasiun karena takut ketinggalan kereta.

"Andin mana?" tanyanya lagi

"Ada apa kau mencariku? Kangen huh?" seorang gadis berperawakan cantik tapi kelaki-lakian keluar dari pintu toilet.

Andinnia Araseta Pratiwi. Sahabatku yang satunya lagi ini rada setengah-setengah. Maksudku, ya dia memang cantik, rambutnya juga panjang berwarna hitam legam, badannya ramping tapi mendekati papan triplek. Tapi sikapnya beuh jangan ditanya, disamping dia super duper cuek, rada berantakan, dan galak, dia juga super jago bela diri. Dia sudah menjadi sabeum di salah satu perguruan taekwondo ternama di Jakarta. Ckck hebat bukan sahabatku yang satu itu? Aku jadi tidak perlu menyewa bodyguard ketika berjalan-jalan jauh. Tunggu-tunggu untuk apa aku menyewa bodyguard huh? Memangnya aku artis? Hadeh otakku mulai rada-rada nih.

"Andin, tumben kamu..." aku memberikan tatapan heran dan mengamati tubuh Andin dari ujung kepala sampai ujung kaki.

"Aku kenapa?" Andin kemudian mengamati sekujur tubuhnya, memutarkan badannya ke kanan dan ke kiri berusaha mencari sesuatu yang janggal.

"Tumben kamu....keluar dari toilet cewek, biasanya juga cowok" akupun terkikik melihat wajah Andin yang sedikit memerah akibat ledekkanku, disusul dengan tawa Laras yang cukup memekakan telinga.

"Hush, ketawamu kayak mak lampir keselek roket NASA tau gak, jelek banget dih" akupun menutup mulut Laras dengan tanganku agar ketawanya berhenti. Hadeh ketawanya...sabar ya telingaku, kamu harus tabah menerima gelombang menyakitkan yang datang dari mulut emak-emak Laras.

"Oh jadi kamu mau ngajakkin perang nih? Okay siapa takut" terlihat Andin sudah menggulung lengan kemejanya sebatas siku. Aih mate perkasanya... ampun nyai!

"Huaa ampun-ampun. Aku masih belum kawin din, eh nikah maksudnya. Ampun astaga, lo udah kayak hulk fresh from the oven tau gak" akupun berlari ke belakang punggu Laras untuk mencari perlindungan dari serangan dasyat mahluk cantik-tapi-macho satu itu.

"Heh sudah-sudah, kereta kita udah mau berangkat nih. Kalian mau kita cuma berdiri di pinggir rel kayak orang bego gini? Udah ah, ayo cepet masuk"

Laraspun segera mengambil barang-barangnya dan bergegas menuju gerbong tempat kami akan duduk. Kemudian disusul denganku dan kemudian Andin yang masih dengan raut wajah kesalnya. Hihi ampun ya din.

-----

Huft, aku harus mengalah untuk duduk sendirian saat ini. Andin dan Laras duduk berdua di belakangku. Berhubung Andin lagi bete sama aku dan dia itu paling tidak suka duduk sendiri, ya mau tidak mau aku harus mengalah.

Kami menempati gerbong bisnis, berhubung tiket eksekutif sudah habis, akhirnya kita hanya kebagian tiket di kelas bisnis ini. Sebenarnya aku sih tidak apa-apa kalau harus menempati gerbong bisnis ini, tetapi si mak lampir satu itu pasti rempong mengeluh sana-sini. Ya, Laras memang terbiasa hidup mewah dan dimanjakan oleh om Pram dan tante Lina, itulah mengapa Laras sedikit susah untuk beradaptasi dengan lingkungan yang bisa disebut dibawah rata-rata.

Sudah 3 jam kereta berangkat dari stasiun Gambir, dan sekarang aku tidak tahu sedang berada dimana. Aku menengok kebelakang dan mendapati Laras dan Andin sudah terlelap. Aku memang terkadang suka terkena sindrom insomnia jika aku sudah kelelahan dan tidur tidak teratur. Maklum saja, aku menyelesaikan skripsiku sebelum aku berlibur di Jogja karena aku tidak ingin memiliki beban apapun ketika aku sedang berlibur.

Aku melirik jam tangan yang melingkar manis di pergelangan tangan kananku, waktu sudah menunjukkan pukul 00.15 tengah malam. Suasana di dalam gerbong sepi sekali, aku jadi bergidik ngeri dan bisa merasakan bulu kudukku mulai berdiri secara perlahan. Hii.

Huah bosan sekali diriku. 15 menit sudah berlalu dan aku masih belum bisa memejamkan mataku. Ngapain ya yang enak? Akhir aku memutuskan memasang headset di kedua telingaku dan memutarkan lagu-lagu klasik. Aku meletakkan bantal di sisi kiriku yang masih kosong dan merebahkan tubuhku disepanjang kursi. Hihi untung saja aku duduk sendirian, jadi bisa enak tidur dengan posisi seperti ini.

Tak beberapa lama kemudian, sayup-sayup musik klasik yang bergema di telingaku sudah tidak terdengar lagi. Nyawaku juga sepertinya sudah melayang entah kemana karena aku tidak bisa merasakan aktivitas apapun di sekelilingku. Samar-samar pandangan gelap yang sedari tadi menemaniku kini sudah berganti dengan ketidak sadaranku, akupun akhirnya terlelap.

-----

A Stranger in TrainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang