Chapter 4

42.1K 2.3K 5
                                    

Dirga’s POV

Oke-oke, sabar Dirga, sabar. Gadis ini mungkin memang benar-benar tidak tahu bahwa kursi ini milikku. Eh, tapi tunggu. Tunggu-tunggu, dia memanggilku apa tadi? Om?! Aish!

Aku menghembuskan nafasku perlahan, merelaksasikan diriku yang sudah terlampau sangat lelah. Lebih baik aku tidak menghiraukan gadis ababil di sebelahku ini daripada aku harus menyumpal mulutnya dengan bantal.

Aku lalu mengeluarkan iPadku dan mengecheck email dari rumah sakit tempatku bekerja. Aku memiliki jadwal praktek di pelosok Sumatera 2 bulan lagi. Aku adalah seorang dokter kandungan yang sering kali ditugaskan ke dalam pelosok Indonesia, untuk membantu masyarakat terutama ibu hamil yang masuk dalam kategori dibawah garis kemiskinan. Aku sangat menikmati pekerjaanku ini, bekerja di daerah pelosok mungkin memang bukan mimpi kebanyakan orang, tetapi tentu saja aku tidak keberatan jika harus bekerja di daerah yang terbilang cukup terbelakang. Membantu ibu-ibu melahirkan anaknya dengan mudah dan melihat raut wajah mereka yang bahagia saat bayi mereka lahir, merupakan anugerah terbesar dalam hidupku. Haha, ternyata dibalik kebrengsekanku ini, masih tersimpan hati nurani yang bersih ‘kan?

Setelah melihat jadwal praktekku, aku lalu membuka dokumen-dokumen penting yang kusimpan di iPadku. Oke, tugas-tugas sudah mulai mengantre.

“Om, gak tidur?”

Suara gadis itu lagi. Aku lalu melirik sekilas kearahnya dan lebih memilih untuk mendiamkannya, daripada harus meladeni pertanyaannya yang menurutku tidak penting. Aku lalu kembali fokus membaca dokumen-dokumen pekerjaanku, sebelum memutuskan untuk menuntaskan aktivitasku karena memang aku sudah mulai mengantuk.

“Ih om! Kok gak dijawab sih? Kata bundaku, kalo orang nanya itu harus dijawab”

Oke-oke, kau sudah mulai mengganggku bocah kecil.

“Gak ngantuk” balasku tak acuh tanpa melihat kearahnya.

“Tapi kan udah malem om? Om emang gak capek?”

Sabar Dirga, sabar. Gadis ini hanyalah setan kecil pengganggu yang berusaha untuk merusak konsentrasimu. Aku tak menghiraukannya lagi. Aku lalu memejamkan mataku perlahan dan kembali fokus pada pekerjaanku yang terlihat lebih menarik daripada harus berbicara dengan bocah kecil pengganggu ini.

Aih si om, jawab pertanyaanku dong!”

Gadis itu tiba-tiba saja mencengkram lenganku dengan kuat. Karena merasa kaget dan tentu saja terganggu, aku lalu melirik kearahnya dan memberikan tatapan lepaskan-cengkramanmu-dasar-bocah-gila-penghancur-ketenangan-orang.

Aku lalu melihat semburat merah dikedua pipi gadis ini saat tangannya bersentuhan dengan kulitku. Hahaha! Apakah dia menikmati pesona yang diberikan oleh tubuhku ini? Apakah dia tidak pernah menyentuh otot-otot kuat dari tangan seorang pria? Aih, tentu saja dia pasti tidak pernah melakukannya, dia kan masih bocah!

“Seingatku, aku tidak pernah menikah dengan tantemu”

Aku berkata tanpa mengalihkan tatapanku dari kedua bola mata coklat gadis ini yang menurutku terlihat sedikit menggemaskan. Aku tekankan sekali lagi, s-e-d-i-k-i-t.

“Eh?” jawabnya sedikit terkejut. Mungkin dia tidak mengerti maksud dari perkataanku barusan.

Ngomong-ngomong, gadis ini masih juga belum melepaskan cengkramannya dari lenganku yang kokoh dan terlihat sedikit menggairahkan. Oh, rupanya kau sangat menyukai otot-ototku nona? Aku lalu memberikan smirk menggoda kearahnya karena aku memang bermaksud untuk sedikit menggodanya.

“Stop panggil aku om. Dan lepaskan genggaman tanganmu itu. Cukup ‘kan menikmatinya?”

Ucapku dengan seringai yang mematikan. Aih, lihat kan? Gadis ini langsung buru-buru melepaskan cengkramannya dan alih-alih malah melihat kearah jendela untuk menyembunyikan warna pipinya yang sudah seperti tomat akibat ulahku. Akupun tertawa dalam hati melihat tingkah gadis ini. Hahaha makanya, jangan macam-macam denganku.

Aku lalu kembali fokus menatap layar lebar di depanku ini. Menarik nafas dengan rakus dan menghembuskannya perlahan, merefleksikan otot-ototku yang terasa pegal, dan menenangkan pikiranku yang sudah berkecamuk.

Aku lalu membuka email karena sepertinya ada email yang baru masuk. Dan benar saja, dari Abi rupanya, sepupuku yang tinggal di Inggris. Ah, aku kangen sekali dengan bocah itu.  

“Om belum menjawab pertanyaanku”

Suara gadis itu lagi! Damn! Belum puas juga kau rupanya?! Aku lalu menarik nafas dan berusaha menahan emosiku yang sudah membuncah di ubun-ubun. Mungkin jika diibaratkan dengan tokoh kartun, aku sudah seperti squidword dalam serial kartun spongebob yang sudah tidak tahan dengan ulah mahluk-mahluk tak berdosa tapi menjengkelkan ini.

“Pertanyaan apa?”

“Kenapa om belum tidur? Om emang gak capek?”

Om lagi, om lagi. Argh come on! Memangnya aku benar-benar terlihat seperti om-om? Atau memang gadis ini sengaja untuk membuatku jengkel? Jika ya, maka selamat, kau sudah berhasil nona.

“Sudah kubilang, aku tidak ngantuk. Dan berhenti panggil aku om!” oke, aku sudah mulai kehilangan kesabaranku.

“Emangnya kenapa kalau aku panggil om? Lagian om kan pasti sudah tua? Tuh buktinya aja pakaian om yang terlalu rapi, seperti bapak-bapak yang udah mau pensiun” gadis itu memberikan tatapan sinisnya kepadaku.

Astaga! Itu mulut sama pedang gak ada bedanya! Sama-sama menyakitkan!

“Wah, sopan sekali kau bocah kecil” karena geram, aku lalu mengeluarkan jurus tatapan mengintimidasiku yang memang sudah menjadi andalanku. Argh! Dasar gadis gila!

“Hei aku bukan bocah kecil! Aku itu sudah berumur 23 tahun tau?! Om ini, sembarangan sekali sih jadi orang?” gadis itu lalu merubah raut wajahnya dari yang sepertinya menantangku, kini berubah menjadi ekspresi jengkel. Haha! Sudah kukatakan, jangan macam-macam denganku!

“Jika aku sembarangan, lalu kau apa? Manggil-manggil aku om seenaknya. Memangnya kau pikir aku adalah bujangan tua yang sudah berumur 45 tahun begitu? Lain kali berpikirlah sebelum bicara. Oh iya aku lupa, bocah kecil sepertimu pasti belum memiliki pikiran yang benar ya”

Oke, 1-0. Kemenangan berada dipihakku kali ini. I feel sorry for you, a loser girl.

Gadis itu dengan geram lalu memukul-mukul dadaku dengan kedua tangannya. Cih, pukulan apa itu? Rasanya tidak jauh beda dengan pijat refleksi.

“Stop” aku lalu menangkap kedua tangan gadis itu yang sedang melayang-layang bebas di hadapanku dengan kedua tanganku, mencengkramnya kuat hingga ia tidak bisa meloloskan diri. Sontak mata gadis itu langsung membesar dan membelalak kaget karena kaget akan ulahku. Aku bisa dengan jelas melihat kedua bola matanya yang berwarna coklat dahan yang terlihat sangat…ngg…cute?

“Jangan berisik, ini sudah malam, bahkan sudah dini hari. Kau bisa membangunkan seluruh penghuni gerbong ini karena perlakuan KDRTmu itu” kali ini nada bicaraku sudah mulai pelan, karena jujur saja aku sudah sangat lelah dan mengantuk.

Gadis gila di hadapanku ini tiba-tiba terdiam, ia menelusuri wajahku dengan saksama. Diam. Gadis ini benar-benar diam. Rasanya aneh melihat dia berubah 180 derajat seperti itu. Aku jadi bingung sendiri, apa ia kesurupan? Atau jangan-jangan dia melihat sesuatu? Seperti mahluk halus mungkin?

“Kenapa diam begitu?” tanyaku perlahan.

Seolah-olah seperti habis terkena siraman air es seperti di ice bucket challenge, gadis ini lalu tersadar dari aksi diamnya dan mengerjapkan matanya berkali-kali. Ia lalu melepaskan kedua tangannya dari genggamanku---yang bahkan aku saja lupa bahwa aku sedang menggenggam tangannya.

“Ngg…enggak. Gapapa” katanya sembari menggeser duduknya menjauhiku. Baguslah, dengan begitu aku bisa merasa sedikit tenang.

“Bagus, aku mau tidur. DAN jangan pernah mengangguku lagi. Mengerti?” aku menekankan kata ‘dan’ untuk memperjelas bahwa aku memang benar-benar tidak ingin diganggu.

Gadis itu tanpa kusangka malah manggut-manggut menuruti perkataanku. Ia tidak memberikan perlawanannya sedikitpun. Padahal aku sudah menyiapkan diri kalau-kalau dia akan menyerangku, tetapi ternyata responnya terbalik, dan itu bagus, sangat menguntungkanku.

Tapi rasanya aneh ketika ia diam seperti anak anjing begitu?

-----

A Stranger in TrainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang