Chapter 3

44.4K 2.4K 20
                                    

Hanna's POV

Sayup-sayup aku mendengar suara yang membangunkanku dan tepukan di atas pundakku. Ugh, siapa sih? Mengganggu saja. Akupun tak menghiraukan suara itu lagi. Tetapi lama kelamaan suara itu makin kencang dan tepukan yang disertai guncangan itu juga makin kencang. Aih, aku tidak suka ketika tidur cantikku itu diganggu!!

Karena sebal, akhirnya aku reflek mengangkat tanganku dan mendorong tubuh yang ada di hadapanku ini. Wow, bagian apa yang aku sentuh? Aku bisa merasakan sesuatu yang keras dan bidang ketika aku mendorong tubuh orang itu. Ah, jangan-jangan dia pria pemenang kejuaraan tinju internasional? Atau mungkin dia adalah atlete bela diri? Atau jangan-jangan, dia hulk? Aih, aku makin ngeri dibuatnya.

Lalu tiba-tiba terdengar suara....... Buk! O ow, ups! Hanna you're in trouble now.

"Hah! Bagus sekali nona. Terimakasih karena sudah menyambutku dengan baik"

Mendengar suara baritone pria itu yang...ugh, sexy? Aku reflek membuka mataku dan membenarkan posisiku menjadi terduduk. Aku melihat seorang pria bertubuh nyaris sempurna dengan otot-otot yang terbilang pas di bawah balutan kemejanya yang tidak bisa ia sembunyikan, dengan rambut hitam pendeknya yang berantakan, dan dengan wajahnya yang astaga, tampan maksimal! sedang terduduk di lantai gerbong sembari membersihkan sikunya yang kotor akibat perbuatanku.

"Ah, maaf-maaf umm...ngg...pak--om? Aku gak tau kalo kursi ini kursinya om. Aku pikir aku duduk sendirian di sini" ucapku sedikit gugup, takut kalau-kalau si om ini marah dan melemparku keluar lewat jendela.

"Minggir" katanya sembari menggeser tubuhku mendekati jendela. Aih, gabisa pelan-pelan dikit apa om?

"Um...iya-iya. Maaf ya om? Aku tadi benar-benar gak tau"

"Hm"

Pria yang aku panggil om ini cuma diam dan bergumam untuk membalas perkataanku barusan. Idih, sombong banget sih om? Orang minta maaf baik-baik malah dibales kayak gitu. Huh. Eh, tapi rupa pria ini sepertinya belum pantas aku panggil om untuk seorang gadis berumur 23 tahun sepertiku. Ah biarlah, sebutan 'om' sangat pantas untuk pria arogan-tapi-tampan-setengah-mati kayak gitu.

Aku melirik pria itu lagi, dia sedang mengeluarkan sebuah iPad berukuran besar dari tasnya, menggeser jari telunjuknya dilayar, dan lalu memainkan jari-jarinya dengan lihai di atas layar besar tersebut. Tuhkan, aku jadi tidak bisa tidur lagi. Aku itu termasuk orang yang jika sudah tidur lalu dibangunkan sebentar, pasti akan susah untuk tidur lagi. Hadeh nih gara-gara si om aku jadi susah tidur lagi. Udah tadi tidur baru sebentar, itupun supaya bisa tidur susahnya setengah mampus. Eh sekarang malah dibangunin dan gabisa tidur lagi kan.

20 menit telah berlalu, dan aku masih cuma bengong-bengong ngeliat keluar jendela yang aku juga tidak bisa melihat apa-apa, wong cuma gelap begitu. Aku lalu melihat ponselku yang tergeletak di atas sebuah meja kecil yang menempel ditembok. 5 panggilan tidak terjawab dari bunda, aih si bunda, jam berapa ini? Pasti lagi mikirin keadaan aku disini deh. Nanti ya bun aku bales telfonnya pas udah sampe di Jogja, hihi.

Karena rasa bosanku yang sudah akut, aku akhirnya memberanikan diri untuk berbicara kepada pria di sebelahku ini.

"Om, gak tidur?"

Dia hanya melirikku sekilas dan lalu matanya kembali fokus pada layar iPad di genggamannya. Wuidih, sombong amat si om. Lihat saja, dia yang sudah merusak tidurku, maka aku juga akan merusak konsentrasinya. Haha, rasakan!

"Ih om! Kok gak dijawab sih? Kata bundaku, kalo orang nanya itu harus dijawab" ucapku sembari menyilangkan kedua tanganku di depan dada.

"Ga ngantuk" katanya tanpa melihat kearahku. Hello? Aku ini bukan mahluk halus loh om? Aku ini masih nyata dan tubuhku juga masih kasat mata! Oke-oke, sabar Hanna. Ingat tujuan utamamu? Mengganggu konsentrasinya, bikin dia jengkel, dan lalu kau akan tertawa puas. Buahahaha.

"Tapi kan udah malem om? Om emang gak capek?"

Pria ini tidak menjawab pertanyaanku, ia semakin larut dalam konsentrasinya. Loh, kok jadi aku yang jengkel?

"Aih si om, jawab pertanyaanku dong!" tanganku lalu reflek menggenggam lengannya. Ya Tuhan...aku bisa merasakan otot-ototnya yang keras dan maskulin itu menyentuh permukaan kulitku, walaupun masih terhalang lapisan kain kemajanya, tetapi tetap saja efek permukaan kulitnya yang sangat sialan panasnya itu menerobos masuk melalui pori-pori kulitku dan menjalar ke seluruh pembuluh darahku. Argh!

"Seingatku, aku tidak pernah menikah dengan tantemu" pria ini akhirnya memalingkan wajahnya kearahku dan menatap kedua mataku dengan tatapan yang aku tidak mengerti apa maksud dari tatapan itu.

"Eh?"

"Stop panggil aku om. Dan lepaskan genggaman tanganmu itu. Cukup 'kan menikmatinya?" ucap pria itu disertai dengan seringai yang menggoda.

Akupun reflek melepaskan genggaman tanganku dari lengannya. Ah! Tangan bodoh!! Kenapa masih enak-enakan bertengger di lengannya sih? Aku kan jadi malu setengah mati ini!

Akupun menarik nafas dengan rakus dan membuangnya dengan kasar. Oke, cukup Hanna. Fokus. F-o-k-u-s. Ini belum saatnya untuk gencatan senjata. Jangan mengacuhkan berbagai macam godaan yang diberikan oleh tubuh pria om sialan itu. Huuuuft.

"Om belum menjawab pertanyaanku" aku berusaha untuk menormalkan nada bicaraku sebisa mungkin, tidak ingin terlihat gugup karena detak jantungku yang tidak mau berkompromi dengan kerja otakku, sialan.

"Pertanyaan apa?"

"Kenapa om belum tidur? Om emang gak capek?" tanyaku lagi.

"Sudah kubilang, aku tidak ngantuk. Dan berhenti panggil aku om!" ucapnya dengan suara lantang dan raut wajah yang sudah berubah menjadi kesal. Yes! Rencanaku berhasil.

"Emangnya kenapa kalau aku panggil om? Lagian om kan pasti sudah tua? Tuh buktinya aja pakaian om yang terlalu rapi, seperti bapak-bapak yang udah mau pensiun" akupun terkikik dalam hati dan berusaha untuk menahan tawaku karena melihat raut wajahnya yang mulai memerah.

"Wah, sopan sekali kau bocah kecil" pria itu memberikan tatapan yang menantang kearahku.

"Hei aku bukan bocah kecil! Aku itu sudah berumur 23 tahun tau?! Om ini, sembarangan sekali sih jadi orang?" aku semakin jengkel dibuatnya. Perasaan tadi aku hampir saja menikmati kemenanganku ketika melihat wajahnya yang sudah kesal, tetapi mengapa sekarang aku yang seolah-olah terintimidasi oleh tatapannya.

"Jika aku sembarangan, lalu kau apa? Manggil-manggil aku om seenaknya. Memangnya kau pikir aku adalah bujangan tua yang sudah berumur 45 tahun begitu? Lain kali berpikirlah sebelum bicara. Oh iya aku lupa, bocah kecil sepertimu pasti belum memiliki pikiran yang benar ya" ucapnya dengan seringai yang mengintimidasi.

Oh begitu ya om? Jangan pikir aku akan menyerah sebelum berperang

-----

A Stranger in TrainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang