Sejak Oliviero, adiknya, lahir, Elio merasakan dirinya semakin terjebak dalam bayang-bayang kegelapan tanpa pernah mampu menggapai cahaya; bukan karena ia tidak lebih kuat dari adiknya, melainkan sebab takdir telah memutuskan demikian.
Benar. Oliviero yang manis, Olly-nya yang tersayang, lebih layak tumbuh besar sebagai seorang ningrat sejati. Oliviero, tidak sepertinya, tidak dilemparkan begitu saja ke keluarga lain untuk diasuh dan tetap berada di bawah atap istana sebagai seorang pangeran yang seharusnya, sebab Oliviero tidak memiliki kemampuan sihir. Seperti seorang penyair yang harus menggubah syair sebanyak ribuan kali, Elio hanyalah gubahan gagal yang dicampakkan begitu saja.
Sebab Elio mempunyai kekuatan sihir.
"Kukira ayah akan bangga padaku," Elio cilik saat itu berujar, sementara matanya tidak lepas dari titik menghilangnya sosok sang ayah dari kegelapan malam. "Aku hanya ingin menunjukkan api biru yang kubuat untuknya—apa itu salah?"
Panglima perang yang kini disebutnya Papa berjongkok di depannya dan menepuk pundaknya dengan cara yang memberi Elio kekuatan. "Ayahmu hanya ... tahu apa yang terbaik untukmu," katanya dengan senyum tipis yang seolah berusaha menyembunyikan sesuatu—sekalipun Elio saat itu terlalu muda untuk memahaminya. "Lagi pula, ibumu akan sering-sering mengunjungimu ke sini. Kau tidak akan pernah merasa kesepian di sini."
Elio cilik, yang bahkan tidak memahami ketakutan ayahnya padanya kala itu, hanya bisa mengangguk. Sesuatu di dalam dirinya memberitahunya bahwa ia tidak punya pilihan lain kecuali mematuhi takdir yang digariskan untuknya.
Tapi nyatanya, kehidupannya bersama sang panglima perang tidak seburuk itu. Ia tetap makan dengan enak, berkuda setiap akhir pekan, dan mendapat banyak kesempatan untuk belajar berbagai hal baru; hal-hal yang tidak mungkin ia lakukan seandainya ia tetap hidup di dalam kungkungan istana.
Kadang-kadang, ibunya akan membiarkannya kembali ke istana untuk sehari-dua. Ibunya akan menyajikan kamar yang sudah lama tidak ia tempati dan memberinya pelayan untuk melakukan apa pun yang Elio inginkan—sekalipun Elio lebih suka menyelinap ke dalam kamar Oliviero pada malam hari dan menghabiskan sepanjang malam dengan bertukar cerita; Oliviero soal kehidupannya di istana, dan Elio dengan petualangan-petualangannya.
"Apa aku bisa pergi bersamamu suatu hari nanti?" tanya Oliviero. Setiap kali mereka bertemu, maka Elio akan membiarkan Oliviero bersandar pada punggungnya dan merasakan napasnya yang seirama dengan miliknya. Hanya dengan cara itulah ia merasa yakin bahwa mereka benar-benar kakak dan adik. "Ayah tidak pernah membiarkanku naik kuda sendirian."
Elio tersenyum kecil. "Tentu saja," katanya tanpa nada iri. "Kau adalah calon raja. Ayah tidak mungkin membiarkanmu terluka."
"Tapi ada kau yang akan melindungiku, kan?" Alis Oliviero menukik tajam. "Ayah seharusnya mengizinkanku pergi selama kita bersama-sama."
Elio menggelengkan kepala, sekalipun senyum masih tersungging pada wajahnya. Ia tahu kalau ayahnya tidak akan semudah itu untuk membiarkan sang calon raja berkeliaran dengan seseorang sepertinya; lepas dari apakah ia adalah putra kandungnya atau bukan.
Tapi kejam sekali kalau ia mengucapkan kenyataan itu pada Oliviero. "Aku masih belum sekuat Ayah untuk melindungimu," katanya. "Tapi suatu hari nanti kita bisa pergi bersama-sama. Kita bisa pergi ke mana saja yang kamu inginkan."
Oliviero memutar kepalanya ke arah Elio. "Benar?"
"Benar."
"Kalau begitu, aku akan menunggumu," Oliviero menguap lebar-lebar. "Tapi jangan lama-lama, oke? Aku ingin segera berkuda denganmu."
"Tentu saja," kekeh Elio. "Sekarang, kita berkuda dalam mimpi dulu saja."
Oliviero membiarkan Elio menyelimutinya, sementara matanya yang berair menatapnya dengan kilau menyenangkan. "Sambil menghitung domba?"
KAMU SEDANG MEMBACA
[COMMISSION] Sciamachy
FantasyKisah ini adalah kisah tentang Bayangan dan Cahaya, dan tentang warna yang berubah di antaranya. --Cerita ini didedikasikan kepada Xiangru (keterangan mengenai tokoh dan universe akan dijelaskan di bagian PENGANTAR)