Dalam salah satu percakapan mereka di masa lalu, Harin berkata bahwa ia ingin merasakan kebebasan suatu hari nanti.
"Tidak enak rasanya terjebak di dalam istana tanpa bisa melakukan apa pun yang aku sukai," katanya. "Aku sampai berpikir untuk lari dari istana suatu hari nanti dan hidup sesukaku."
Elio tertawa. "Kau bahkan tidak mengenal dunia luar dengan baik," katanya. "Bagaimana mungkin kau bisa memastikan dirimu akan hidup dengan selamat?"
Mata Harin berkilauan. "Justru itu serunya, kan?" katanya. "Aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku di luar sana, tapi justru dari situlah aku bisa belajar banyak!"
Elio tertawa lagi. "Aku tidak bisa membayangkanmu berkeliaran seperti itu," ujarnya geli. "Sekuat apa pun aku ingin melihatmu bebas, aku tidak akan membiarkanmu melakukan hal segegabah itu."
"Kalau begitu, pergilah bersamaku," kata Harin. "Dengan begitu, kau bisa memastikan kalau aku baik-baik saja."
Elio menatap Harin lekat-lekat, dan menemukan kesungguhan yang terpantul pada sepasang mata indah itu.
"Aku berjanji," katanya dengan tegas. "Bersamaku, kau tidak akan pernah tersesat."
Harin tergelak. "Kutunggu janji itu, Elio."
Elio tersenyum, sementara ia berusaha untuk memegang janji itu kuat-kuat di dalam ingatannya.
Tetapi takdir memang selalu memberinya kejutan.
Jiwa Harin kini tidak lagi melekat pada tubuhnya. Tanpa tubuhnya, petualangan-petualangan yang sudah mereka rencanakan adalah sia-sia.
Tetapi, anehnya, Elio masih bisa melihat jiwa Harin. Jiwa itu tengah berdiri—atau melayang, lebih tepatnya—di depan matanya, dengan ekspresi sedih yang menciptakan gejolak di dalam dada Elio.
Suara Elio seolah tertahan ketika ia berbisik, "Maafkan aku."
Harin menggeleng, kendati wajah cantiknya masih murung. "Ini bukan salahmu," katanya. "Juga bukan salah Oliviero. Siapa pun akan mengamuk kalau menyaksikan kakaknya tidur dengan kekasihnya—"
"Tetapi ia tidak harus membunuhmu," ujar Elio lirih. "Seandainya saja aku menyelamatkanmu—"
"Elio, tolong jangan membuat wajah seperti itu," bisik Harin dengan nada yang sama lirihnya. "Lihat sisi baiknya; setidaknya kini aku sudah bebas."
Elio tersenyum pahit. "Aku kagum kalau kau masih bisa bergurau di saat seperti ini."
"Elio, aku sudah mati," kata Harin. "Bahkan sihir terkuat sekalipun tidak akan bisa membuatku hidup kembali, kan?"
"Aku bisa mencarikan beberapa orang penyihir terbaik untukmu, kalau kau mau," ujar Elio. "Barangkali mereka akan membutuhkan satu atau dua tumbal, tapi aku tidak keberatan."
"Jangan konyol, Elio." Roh Harin menatapnya dengan alis bertaut. "Kalau ada satu hal yang paling tidak ingin kulakukan, maka hal itu adalah membiarkan diriku kembali terjebak di dalam tubuh itu."
Elio menggigit bibir bawahnya. "Tetapi dunia roh sendiri bukanlah dunia yang menyenangkan untuk ditinggali."
"Tahu dari mana kau?"
"Beberapa kali aku memimpikannya," jawab Elio. "Ibuku meninggal sewaktu aku kecil, dan berkali-kali dia seperti berusaha menyeretku masuk ke dalam dunianya." Ia terdiam sesaat, kemudian terkekeh. "Bukan mimpi yang ingin kuingat-ingat, kalau aku boleh berterus terang."
"Tidakkah hal-hal seperti itu hanya terjadi pada roh yang memiliki penyesalan semasa hidupnya?" tanya Harin. "Aku tidak menyesali apa-apa. Justru sebaliknya, aku merasa lega ketika Olivieor membunuhku, jadi seharusnya aku akan baik-baik saja."
Elio menggeleng. "Tetap saja—" ia menghela napas panjang. Bahkan hal itu tidak dapat melenyapkan pedih di dadanya. "—aku tidak ingin melepaskanmu begitu saja."
"Kalau begitu ikutlah bersamaku." Harin mengulurkan tangannya. "Bersama-sama, kita akan mencari kebebasan."
Elio terkekeh. "Tidak semudah itu, Harin," katanya. "Dengan apa yang sudah terjadi, barangkali kita tidak akan bisa bertemu di dunia yang sama." Ia terdiam sesaat, selagi senyumnya perlahan menyusut. "Lagi pula, Aku tidak bisa meninggalkan dunia ini begitu saja."
"Memangnya kenapa?"
Kembali, Elio mengembuskan napas panjang. "Kau tahu betul apa yang kumaksud. Aku masih harus memastikan kalau Oliviero—"
"Dia tidak membutuhkanmu lagi," Harin menukas cepat. "Tidakkah kau lihat? Saat ini, satu-satunya orang yang bisa mengendalikannya adalah Jiro."
Rasa nyeri yang berpendar di dadanya semakin menjadi, sebab ia tahu bahwa kata-kata Harin benar.
Jika ia memaksakan diri untuk berada di sisi Oliviero, maka hal itu hanya akan membuat jiwa adiknya semakin hancur. Dan Elio tidak ingin menyaksikan adiknya terpuruk lebih dalam lagi.
Maka, barangkali, pilihan terbaiknya adalah menyerahkan Oliviero ke tangan Jiro sepenuhnya—
Ia menatap ke arah tubuh Harin yang berada di pelukannya, lalu pada jiwa perempuan itu, sebelum senyum tipis terukir pada wajahnya. "Kurasa aku punya ide yang lebih baik lagi daripada mengikutimu ke alam baka."
—dan menjalani hidupnya yang baru bersama Harin.
KAMU SEDANG MEMBACA
[COMMISSION] Sciamachy
FantasyKisah ini adalah kisah tentang Bayangan dan Cahaya, dan tentang warna yang berubah di antaranya. --Cerita ini didedikasikan kepada Xiangru (keterangan mengenai tokoh dan universe akan dijelaskan di bagian PENGANTAR)