Sebuah Ide

835 136 16
                                    

"Nggak mungkin!!!!"

Dion yang baru tiba di teras rumah dibuat kaget karena mendengar teriakan Kakaknya memenuhi seisi rumah. Dia berlari menerobos masuk ke dalam menuju kamar Kakaknya. Saat memasuki kamar Dion terkejut melihat kamar Kakaknya amat berantakan.

''Bilang ini cuma mimpi, tadi mimpi, kan? Tapi sial kenapa ... ah sia-sia penyamaranku!"

"Kakak kesurupan setan mana, sih?!"

Vira yang baru menyadari kehadiran Adiknya semakin mendengus kesal. Dia melempar bantal ke arah Dion sebagai wujud pelampiasan amarah.

"Itu anaknya Tante Anita!"

"Oh ... Kak Galih, kenapa Kak? Jangan bilang kalau Kakak naksir lagi?! Ciee, ngaku." Ledek Dion sambil tertawa.

Vira mengacak rambut frustasi, "Amit-amit! Jangan sampai naksir cowok itu! Dion, help me!"

Dion menutup kedua telinganya tidak sanggup mendengar teriakkan Kakaknya dari sedekat ini.

"Kak, jangan panik dulu."

"Kamu bilang apa?! Jangan panik?! Kamu nggak bisa ngerti kalau nggak diposisi Kakak saat ini!" Dengus Vira membenamkan wajahnya di bantal.

"Ya ampun Kakak, makanya dengarin Dion dulu. Dion udah tahu mengenai kecemasan Kakak."

"Tahu apa kamu?! Jangan sok tahu deh!"

"Dion tadi udah cerita panjang lebar sama Kak Galih tentang Kakak."

"What?!" Vira langsung bangkit dari posisinya berbaring menatap Adiknya dengan horor.

"Ceritanya cuma berdua kok, soalnya Mama sama Tante Anita keburu masuk ke dalam. Biasalah bahas ala-ala Mama rempong gitu."

Vira menghirup udara sebanyak mungkin dirinya semakin panik.

"Cerita apa aja kamu tadi?!"

"Mengenai Kakak yang berpenampilan jelek di sekolah. Tapi Dion lihat Kak Galih orangnya nggak peduli gitu. Dia bilang itu urusan Kakak bukan urusan dia. Jawabnya tadi cuek Kak bahkan tadi nggak kaget sama sekali lihat penampilan Kakak tanpa kacamata, kan? Malahan gara-gara Dion cerita panjang lebar tentang Kakak, Dion jadi cepat akrab sama Kak Galih. Dia orangnya asyik sama janji mau ngajarin Dion main basket."

"Ka ... kamu yakin dia nggak akan cerita masalah ini ke siapa pun?"

Dion mengangguk sebagai jawabannya.

"Benaran kamu?!" Teriak Vira tidak bisa menyembunyikan perasaan leganya. Tanpa sadar gadis itu sudah loncat-loncat kegirangan di atas tempat tidur.

"Sumpah ini rasanya benar melegakan!"

OOOOO

"Kak Galih!"

Vira berteriak memanggil cowok itu, dia segera memakai sandal lalu berlari menuju depan rumahnya.

"Ih, Kak Galih berhenti dulu kenapa!" Omel Vira saat melihat cowok itu ingin pergi.

Melihatnya berhenti berjalan Vira berlari mendekat. Wajah gadis itu menampilkan ekspresi senang. Dia tidak perlu risih lagi karena tidak memakai kacamata sedangkan Galih tampak menghela napas menatap dengan sabar gadis di hadapannya.

"Kak Galih mau ke mana sih? Kok buru-buru mau pergi ya, aku minta waktunya sebentar. Mau bilang terima kasih karena Kakak, Tante sama Om Alex udah mau mampir makan malam di rumah. Tante sama Om aja masih betah ngobrol di dalam Kak Galih kenapa nggak ikutan, canda Kak. Aku juga mau bilang terima kasih karena Kak Galih nggak membeberkan rahasia penyamaran aku di sekolah hari ini. Aku harap Kak Galih janji ya seterusnya akan tetap jaga rahasia aku?"

"Udah ngomongnya?"

"Ya?"

Galih menatap Vira dengan raut wajah tidak bersahabat, "Dengar ya, untuk urusan makan malam ini, aku hanya menghargai orang tua kamu. Dan untuk urusan kamu aku sama sekali nggak peduli, paham?"

Vira merasakan dirinya sulit bicara dan matanya hanya menatap Galih. Entah kenapa cowok di hadapannya lebih menyeramkan dari apa pun. Padahal malam ini suasananya biasa saja tapi berubah saat Vira bertemu Galih.

Cowok itu berdiri membelakangi lampu jalan sehingga bisa Vira pandangi dari raut wajah itu adalah, mata tajam yang seakan bisa menusuk dirinya atau bahkan siapa pun terutama saat berani membuatnya marah.

"Kita emang tinggal berhadapan dan kedua orang tua kita sahabatan. Tapi bukan berarti dengan semua hal itu kamu bisa sok akrab denganku, mengerti? Aku nggak butuh itu. Dan satu hal lagi jangan pernah kamu buka mulut ke siapa pun di sekolah, kalau kita bertetanggaan kayak gini." Jelas Galih setelahnya berlalu pergi dari hadapan Vira.

"Apa dia bilang? Itu cowok benar menyebalkan! Kok bisa ya banyak fans-nya?! Tahu gini tadi nggak perlu sok akrab, sok baik, tapi ya udah deh terlanjur juga."

OOOOO

Candy dan Zaldy tampak sibuk mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kantin. Sibuk mencari di mana keberadaan teman mereka, setelah mendapatkan apa yang mereka cari keduanya berjalan menghampiri.

"Oi, Vira, pagi-pagi udah melamun aja?!"

Suara Zaldy membuyarkan lamunan Vira, "Kalian berdua kangen ya sama aku? Sampai cariin aku ke sini?"

"Ya elah maunya!" Candy mencubit gemas dagu Vira.

"Kenapa?"

"Apanya yang kenapa?" Vira balik bertanya ke Zaldy.

"Melamun? Ada masalah? Cerita aja lagi ke kita berdua, siapa tahu kita bisa bantu?"

"Kalau diceritakan panjang, nanti keburu bel masuk."

Candy melihat jam di pergelangan tangan kanannya, "Masih ada sepuluh menit lagi untuk cerita."

"Aku lagi mikirin kejadian waktu itu, kejadian di mana aku bertindak ceroboh. Yang itu loh, saat aku nggak sengaja tumpahin minuman aku ke sepatunya Kak Galih, ingat?"

"Ingat! Mana mungkin aku lupa sama kejadian itu sih!" Omel Zaldy karena kembali mengingat rasa bersalah. Karena dirinya Vira jadi kena imbas.

"Aku berpikir, dari kejadian itu Kak Galih sepertinya semakin nggak suka lihat aku? Intinya aku bingung harus bagaimana coba? Kenapa sih dia orangnya dingin banget di antara keempat lainnya?!"

"Gimana kalau kamu pakai ide aku aja, Vir?"

"Apaan?!" Vira menatap Candy semangat.

"Kamu beliin dia sepatu baru aja!"

"Ide kamu bagus banget Candy! Kok aku nggak kepikiran ya sejak tadi, thanks!"

"Tunggu dulu, emang kamu tahu ukuran kakinya berapa? Percaya diri mau kasih sepatu, Candy nggak ada ide lain apa?" Tanya Zaldy.

Vira tersenyum senang, "Belikan sepatu aja, urusan ukuran mah itu gampang."

"Kamu yakin?"

"Yup! Aku sangat yakin pakai banget!"

= = = = =

PRINCE'S CHARMINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang