ʻ adore #3 | k. tobio

2.1K 261 17
                                    

"Whoaa, Kageyama, kamu mau ngajak mesin tawuran?"

Kageyama tersentak lantas menoleh, mendapati [Name] terkikik lepas lantaran memergokinya memasang raut berpikir keras di depan mesin penjual minuman.

Raut yang bagi [Name] seram, plus wajah default Kageyama yang suram, ya ... bayangkan saja sebetapa sangarnya.

Tetapi [Name] jatuhnya malah menertawakan ekspresi Kageyama.

"Mikirin apa sih, sampai seserius itu?" tanyanya penasaran.

Kageyama mengerahkan jarinya untuk menekan tombol 'Yoghurt' pada mesin. Ia lalu mengambil sekotak Yoghurt yang keluar dari mesin penjual minuman tersebut.

"Bingung, susu atau yoghurt."

[Name] tergelak lagi. Wajah Kageyama tampak seperti orang yang ditimpa beban berton-ton di pundak, kenyataannya lelaki itu hanya berpikir keras memilih minuman yang akan ia beli.

Lucu sekali, pikir [Name].

"Kalau ada masalah cerita aja," Gadis itu berujar sembari merogoh saku, mencari uang hendak membeli milk tea di mesin penjual.

Kageyama tercenung sejenak, merenungkan apa perlu ia mengutarakan permasalahan yang akhir-akhir ini merundunginya pada seorang [Name]?

"Aku habis tengkar sama Hinata."

[Name] mengangkat alis kala mendengar kalimat introduksi sesi curhat Kageyama.

"Kalian saling tonjok? Astaga, aku baru menotis sudut bibirmu sampai lebam begitu."

"Iya. Tapi lebam ini sudah gak apa-apa."

"Syukurlah. Kok bisa sih sampe begitu? Gimana ceritanya?"

Kageyama memaparkan semuanya, alasan yang melatarbelakangi terjadinya insiden tersebut. Mulai dari awal mula inisiatif Hinata di Pelatihan Musim Panas, lalu kekerasan kepala keduanya yang menyebabkan mereka tak kunjung mendapati titik temu.

[Name] mendengarkan dengan saksama, kuping dipasang lebar-lebar. Dia menyimak sambil menyuruput botok milk tea dinginnya. Di akhir cerita, Kageyama bertanya pendapat [Name].

Gadis itu menanggapi, "Jangan tersinggung, ya, Kageyama. Kalau kamu tanya aku, menurutku kamu masih egois sama dirimu sendiri. Mungkin kamu punya trust issue sama Hinata, tapi coba deh, percaya sama dia, kasih dia sedikit waktu lagi karena berproses itu gak ada yang instan," jelas [Name].

Ia menambahkan, "Gak hanya ke Hinata doang, tapi bukannya kepercayaan ke satu tim itu perlu? Aku gak pernah main voli dengan tim sih, tapi dimana-mana kalo kerja tim 'kan begitu."

Kageyama manggut-manggut. Di lubuk hati, dia tertohok juga menyetujui perkataan [Name].

"Kalau hanya ada satu atau beberapa pemain yang hebat di suatu tim voli, bukankah kalau berenam lebih menjadikan tim itu kuat?"

Mata Kageyama mengejap beberapa kali. Ia merasa familiar dengan ungkapan tersebut. Dia teringat sesosok senior yang merupakan rival dan panutannya sedari SMP.

Iris pemuda itu berseri. "[Surname] ... kamu pintar," gumamnya lirih, hampir-hampir tak terdengar.

[Name] sontak menoleh. Dia menyeringai. "Apa tadi? Kamu memujiku?"

"Nggak," elak Kageyama. Kepalanya menggeleng pelan. "Makasih, kayaknya aku sudah tahu harus apa."

Di saat yang bersamaan, bel istirahat berbunyi. Kageyama dan [Name] beranjak dari mesin penjual minuman yang berlokasi di samping gedung gimnasium, berjalan beriringan menuju kelas masing-masing.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 31, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

a while ❥ haikyuuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang