ʻ motivation | s. rintarou

2.7K 335 136
                                    

Aku bukan anak yang begitu rajin. Hanya saja, berangkat sekolah pagi sedikit lebih awal dari yang lain sudah menjadi salah satu kegemaranku.

Hawa dingin pagi, udara yang segar, cicitan burung-burung yang masih bertengger di pepohonan, serta peralihan cakrawala dari kelamnya malam menjadi benderangnya fajar. Siapa sih yang tidak menyukai semua keindahan tersebut?

Semuanya itu sangat menenangkan, membuat kakiku semakin semangat melangkah, menyusuri jalanan yang masih sepi lengang.

Aku mulai memasuki ruang kelas 2-1. Bangku-bangku terlihat masih kosong, kecuali satu bangku di deretan samping jendela. Di sana, sosok pemuda bermahkota sehitam jelaga sudah menangkupkan wajah, terbenam di meja dengan kedua lengannya.

Seperti biasa. Pemandangan yang sama yang selalu kudapati di setiap permulaan hari.

"Pagi, Rintarou," sapaku begitu sampai menghampiri bangkuku yang tepat berada di sebelah bangku pemuda itu.

Aku menghela napas. Sapaanku tidak digubris, Suna Rintarou sepertinya benar-benar sedang terlelap.

Tak mau ambil pusing, aku mengeluarkan ponsel pintarku lantas membuka salah satu sosial media dan  menyelam di linimasa. Aku cekikikan sendiri. Pagi-pagi melihat shitpost bikin segar dan sehat, sebab otot-otot wajah jadi berkontraksi mengukir lengkungan tawa.

"Kukira di kelas ini ada kunti. Oh ternyata kamu, [Name]."

Kepala kutolehkan, mendapati wajah Suna sudah ditengadahkan, tidak lagi dibenamkan pada permukaan meja. Iris sayunya menatap ke arahku.

"Lho, kukira gak ada orang lain di sini," balasku tidak mau kalah.

Suna menyunggingkan senyum miring.

"Ngetawain apa? Keras sekali sampai bangunin orang." Pemuda dengan poni rambut belah tengah itu sedikit menegakkan badan, mencoba mengintip layar ponsel yang kugenggam dari mejanya. "Receh," komentarnya dengan wajah datar yang membuatku sedikit kesal.

"Suka-suka. Kamu aja kali yang terlalu flat jadi tidak dapat jokesnya."

Dia hanya bergumam 'hm' saja. Hening sepersekian detik, Suna kembali membuka suara. "[Name], PR Matematikamu sudah? Lihat dong."

"Sudah. Berani berapa dulu?"

"Pelit amat pake bayar, awas kuburannya sempit."

"Yeu, di dunia ini nggak ada yang gratis. Yakisoba ya nanti?"

Suna mendesah pasrah. Aku senyum-senyum sembari mengambil buku dari dalam tas. Sebelum menyerahkan padanya, gerakanku terhenti. Netraku mengamati pemuda itu dalam, pikiranku menerka heran.

"Jadi kamu rajin berangkat pagi cuma biar bisa nyalin PR yang belum kamu kerjain?"

"Salah. Aku berangkat pagi biar bisa tidur lebih awal setelah sampai di sini. Ngerjain PR itu bonus," jawabnya enteng. Kata-katanya yang mengudara itu memberikan atmosfir tak habis pikir dalam benakku.

Bisa ada orang macam gini, ya. Tapi argumennya cukup logis. Biasanya meski masih pagi-pagi buta di rumah tidak bisa bermolor-moloran lama, karena pasti sudah diobrak sama orang tua untuk bangun dan pergi sekolah.

Suna termasuk jenis siswa yang mungkin, 'Kalau tidak bisa molor pagi lebih lama di rumah, ya kenapa nggak di sekolah.'

Suna menerima buku yang kuserahkan. Sebelum sibuk dengan aktivitas menyalin pekerjaanku, dia menoleh. Iris kami kembali saling bertemu.

"Ngomong-ngomong, [Name], jangan sering cekikikan sendiri nanti dikira gak waras."

Sontak aku tertohok. Dia menyebalkan sekali. Sebenarnya sudah berapa lama dia terbangun dan memergokiku ngetawain shitpost tadi?

a while ❥ haikyuuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang