Bab 10 🌸

173 8 0
                                    

    Segelas es cendol menjadi pelega haus di tenggorokan Bunga dan Rena siang itu.

    Terik matahari menyengat panas. Bunga mengangkat rambut belakangnya ke atas dan mengipasi tengkuk lehernya dengan kipas. Rena malah sudah mencepol rambutnya tinggi yang terlihat seperti antena di atas kepala.

    Ada hal-hal yang membuatnya senang di akhir-akhir ini.

    Pertama: Nino sudah keluar dari rumah sakit. Untuk sementara ini, Nino diliburkan dari jadwal syuting untuk pemulihan kondisinya.

    Kedua: buku keduanya Lovely Summer mendapatkan respon yang baik dari pembaca. Yang lebih menggembirakannya adalah ia baru saja mendapatkan telepon dari editornya yang mengatakan ia mendapatkan jadwal siaran di sebuah radio untuk promo bukunya. Uyeah!

    Ketiga: Rena berhasil membaca bukunya dalam waktu sehari. Bunga mengancam jika Rena tak menyelesaikan membaca bukunya, maka ia tidak akan menjadi model Rena . Yeah, dan ancamannya terbukti ampuh.

    "Buku biografinya Aryan kapan keluar?"

    "Masih belum tahu. Mungkin berbarengan dengan launching film terbarunya kali. Mas Dika nggak cerita apa-apa, sih. Huh, Mas Dika itu pelit banget kalau sudah menyangkut Kak Aryan."

    "Mas Dika suka lagi sama kamu, Nga."

    "Tuh kan, ngaco lagi omongannya. Nanti Mbak Mel yang dengar marah, lho."

    "Dibilangin nggak percaya. Kelihatan kali dari sikapnya Mas Dika sama kamu."

    "Mas Dika kan, baik dan perhatian karena dia sudah menganggapku seperti adiknya sendiri."

    "Kalau dia memang menganggapmu seperti adiknya sendiri, nggak mungkin dia memperhatikanmu dengan tatapan penuh cinta. Matanya selalu berbinar-binar setiap kali melihatmu. Tersenyum manis walaupun kamu melakukan kesalahan. Apa itu namanya kalau bukan suka?"

    "Udah ah, bercandanya."

    "Makanya jadi cewek itu yang peka dikit, donk."

    "Iya. Iya. Aku memang nggak peka. Aku yang salah. Semua salah aku." Bunga mendramatisir.

    Rena mencibir geli. "Nonton nggak ya, film barunya Aryan?" liriknya jahil ke Bunga yang duduk di seberangnya. "Pengen banget nonton. Tapi kok yang main Frizka, ya?"

    "Nyindir nih?"

    "Eh, sori. Nggak ada maksud buat nyindir kok. Ciyus, Kak."

    Bunga memberengutkan. Yang dikatakan oleh Rena tidaklah salah. Hanya saja ia merasa tersindir. Dilema menyerangnya. Di satu sisi ia ingin menonton film terbaru Aryan. Tapi, di sisi lain ia tak mau nonton karena ada Frizka. Jadi, ia harus nonton atau tidak?

    Mata Bunga teralihkan pada motor vespa hijau pupus yang berhenti tepat di depan Aurflower. Seorang bapak tua dengan uban yang nyaris rata menutupi rambut hitamnya melompat turun dari vespa tersebut.

    Bunga terus memperhatikan bapak tua itu yang melangkah masuk ke dalam toko bunga dari jendela teras. Lalu, dilihatnya Pipin dengan ramah tamah melayani bapak tua itu. Sekuntum mawar merah menjadi pilihan si bapak tua itu. Walaupun hanya sekuntum bunga, tapi terlukis guratan kebahagiaan. Sepertinya bunga itu untuk sang istri.

    Melihatnya, Bunga jadi berpikir sesuatu. Setiap hari ia tumbuh dan berkembang bersama dengan bunga-bunga yang ada di Aurflower. Waktunya lebih banyak ia habiskan di Aurflower dari pada di rumah ataupun bermain dengan teman-teman. Karena itulah, mungkin ia tak terlalu memiliki banyak teman. Karena itu pulalah, teman yang dimilikinya hanyalah Rena dan Nino. Hanya mereka.

Kisah KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang