Bab 11 🌸

203 6 2
                                    

Akhirnya Bunga merasakan yang namanya siaran. Selama ini ia hanya mendengar suara penyiar radio dari rumah atau Aurflower.

Luar biasa.

Walau hanya promosi buku terbarunya, tetap saja ada gugup dan tegang. Tangannya sampai dingin. Ujung kaki dientak kecil, namun tak mampu meredakan ketegangan.

Usai siaran-yang menurut Bunga cukup menguras tenaga-ia pun mentraktir Rena makan steik sebagai imbalan karena telah menemaninya ke tempat siaran.

"Lagi mikirin apaan?" Rena tetap pada fokus kendali setir. "Siaranmu berjalan lancar."

"Ada yang aneh dengan Kak Aryan."

"Kenapa lagi?"

"Beberapa hari lalu, sikap Kak Aryan dingin banget. Trus tiba-tiba sikap Kak Aryan baik lagi. Kan, aneh, yaa?"

"Mood-nya Aryan lagi baik kali. Udah deh, Nga. Nggak usah terlalu dipikirin."

"Nggak dipikirin, sih. Cuman kepikiran aja."

Rena membelokkan mobil ke kiri.

"Kok belok sini, sih?"

"Buku desainku ketinggalan di Aurflower."

"Ya ampun, kebiasaan. Ambil besok aja, deh."

"Besok aku ada rapat sama klien. Jadi aku harus menyelesaikannya malam ini."

"Huh, udah tahu penting."

"Gara-gara siapa juga desainku ketinggalan? Kamu tuh yang paniknya minta ampun. Jammu itu dipercepat setengah jam, biar katamu nggak terlambat siaran."

Bunga menyengir malu.

"Hujan." Bunga mencondongkan tubuhnya ke depan.

Rintik-rintik hujan membasahi kaca jendela mobil. Awan mendung sudah menggantung pekat sejak tadi sore sebelum mereka berangkat siaran. Dan sekarang hujan mengguyur malam.

"Lho, itu kan, mobilnya Mas Dika?" tunjuk Bunga ke sebuah mobil yang terparkir di depan Aurflower.

Mobil yang dikemudikan oleh Rena melambat. Matanya mencari celah parkir yang masih kosong. Rena memarkirkan mobilnya di samping warung mi ayam tak jauh dari toko.

"Mas Dika ngapain ke Aurflower malam-malam begini?" Bunga melompat keluar dari mobil.

"Mari kita cari tahu."

Mereka berjalan mendekati toko tanpa mereka ketahui bahwa di dalam sana sedang terjadi percakapan yang sangat tegang.

Tentunya mereka tak ingin menguping, tapi langkah Bunga sontak terhenti saat namanya tersangkut dalam percakapan tersebut. Bunga memaku di tempat. Bergeming di depan pintu dengan tangan tertahan menggenggam gagang pintu.

"Aku nggak akan sesakit ini, Dik. Tapi kenapa harus Bunga? Kenapa, Dik?" Melati bergetar sedih.

"Maaf, Mel. Harusnya dari dulu aku bilang. Aku terlalu pengecut."

Kisah KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang