Esok harinya, setelah meletakkan tas di kursi, aku menuju kelas XI IPS 3. Kali ini bukan untuk mencari Gathran. Aku hanya ingin memastikan luka Hilman tidak bertambah buruk karena kejadian kemarin.
"Assalamualaikum! Ada Hil-- eh Imam gak?" Sapaku seceria mungkin setibanya di pintu kelas tujuanku yang terbuka lebar.
"Imam? Kayaknya udah dateng tadi, tapi sekarang gak tau ke mana." Balas seorang perempuan yang tadinya sedang menghapus papan tulis di dekat pintu masuk.
"Oh~ dia duduk di mana?" Tanyaku lagi. Aku berencana untuk menunggunya di tempat duduknya.
"Di barisan 3 deretan tengah. Yang mejanya ada kertas gambar." Jawabnya.
"Makasih, permisi. Numpang dulu di sini, ya." Ujarku sambil memasuki kelas.
"Iya, gak papa kok." Dia kembali menghapus papan tulis sementara aku menuju meja Hilman.
Aku duduk di kursinya dan melihat-lihat hasil gambarannya. Benar-benar luar biasa. Sebagai orang yang tidak bisa menggambar, aku sangat iri melihat hasil karyanya ini.
"Ngapain lo di sini?" Tiba-tiba terdengar suara ketika aku sibuk mengamati gambar.
"Nunggu Hil-- oh ternyata kamu udah balik. Habis dari mana?" Aku menatapnya yang berdiri di kanan depanku.
"Emang lo siapa? Pengen tau banget kegiatan gw." Dia terlihat kesal. Mungkin karena aku melihat gambarnya tanpa izin.
"Aku Rania Bunga, siswa kelas XI IPA 2 sekaligus orang yang mengkhawatirkan lukamu kemarin." Balasku dengan tangan kanan yang menghormat. "Lukanya gak papa, kan?"
Wajahnya tiba-tiba memerah, aku tidak tahu kenapa. Apa dia semakin marah padaku?
"Lukanya gak papa. Emang lo kira gw lemah." Jawabnya.
"Syukurlah. Oh iya, sorry udah liat gambarmu tanpa izin. Habisnya bagus banget. Saya tak bisa mengalihkan pandangan dari karya bagus seperti ini walaupun membuat hati saya merasa iri." Candaku.
"Apa sih lo? Gak usah baku-baku ama gw. Kemaren lo ngomong 'lu' 'gua', kan. Kok sekarang baku, pake banget pula." Dia menanggapi candaanku dengan sangat serius. Rasa kecewa seketika merambat ke hatiku.
"Ah~ malah bahas yang lain." Aku menempelkan pipiku ke salah satu kertas bergambar milik Hilman. "Karena kita baru kenal, jadi rasanya aneh kalau langsung begitu. Jadi, maklumin aja dulu. Kalau udah agak lama kenal bakal kayak kemaren kok. Dulu sama Gathran juga gitu. Harap bersabar."
"Gak usah nimpa gambar gw. Rusak, ntar."
Aku pun mengangkat wajahku, "Iya iya, maap. Gak niat ngerusak kok. Bahkan mungkin bisa jadi lebih bagus kalau kutimpa gitu karena kecantikanku pindah ke gambar."
Dia tidak berkomentar apapun. Rasanya aku malu sendiri mengatakan itu tanpa ada respon apapun.
"Ngapain lu di sini? Balik kelas sono. Bentar lagi bel masuk." Gathran pun muncul dari balik Hilman yang lebih pendek beberapa cm darinya.
"Iya iya. Padahal masih pengen ngobrol bareng Hilman. Kak Gathran jahat ah." Aku berdiri dari tempatku dan hendak keluar kelas.
"Lu sakit, Ran? Gaya ngomong lu beda." Ujarnya lagi.
"Gak kok~ karena mau deket sama Hilman jadi gini. Ntar kalau udah Deket berubah kok." Balasku.
"Lu kayaknya dulu gak gini-gini banget dah. Jangan lama-lama begitunya, ntar malah jadi gitu terus loh."
"Iya, iya. Khawatir amat sih. Emang lu siapanya gua? Bukan kakak gua beneran walaupun lu sekarang lebih tua dari gua."
Aku pun pergi meninggalkan kelas itu dan menuju kelasku.
YOU ARE READING
Bintang sekolah
Teen FictionKerjaan mereka isengin temen terus. Walaupun di antara mereka ada ketua OSIS, mereka gak dihukum sama sekali. Padahal, ketua OSISnya disiplin banget. Alasan gak pernah dihukum, karena mereka iseng ke murid yang gak jera-jera dikasih hukuman sama OSI...