prolog

129 17 3
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Botol ke berapa?" Pertanyaan itu membuat Seokjin menegakkan kepalanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Botol ke berapa?"
 
Pertanyaan itu membuat Seokjin menegakkan kepalanya. Setengah sadar, ia mencoba menghitung botol-botol yang isinya habis ia tenggak sendiri. Sudah habis berapa, ya? Entah. Kepala Seokjin terlalu penuh untuk sekadar menghitung jumlah botol-botol itu.

"Persetan," sahutnya. Diraihnya gelas kecil yang terletak di meja, tempat dimana daging panggang yang ia pesan mulai dingin. "Habis berapa botol pun aku bayar sendiri."

Seseorang yang duduk melihatnya itu tampak menggeleng. Wajah Seokjin kepalang merah, mungkin karena alkohol yang ia minum telah membuat semua darahnya bergerak naik ke ubun-ubun.

"Bukan masalah siapa yang bayar. Tapi masalah siapa yang harus mengangkutmu pulang, Hyung."

"Aku bisa pulang sendiri."

"Tapi kau meneleponku dan membuatku berjalan kaki melewati tanjakan dan turunan." Orang itu berdiri dan menyambar dompet Seokjin yang terletak di atas meja, langkahnya menjauh ke arah Ahjumma pemilik kedai itu untuk membayar minuman dan makanan yang Seokjin pesan dan habiskan. Setelah membayar, ia kembali ke hadapan Seokjin.

"Ayo pulang, Hyung." Pemuda yang berusia lebih muda beberapa tahun darinya itu menggulung kemeja, menampakkan tangan kecilnya. Tubuhnya pendek dan mungil, namun jika harus mengangkut Seokjin yang mabuk, sepertinya ia masih mampu. Meskipun harus dengan tenaga ekstra.

Tanpa banyak berbicara lagi, ia menarik Seokjin untuk segera berdiri. Susah payah tangan kirinya meraih tas kerja Seokjin dan memapah tubuh berat itu.

"Aku tidak mau pulang, Jimin." Seokjin menepis tangan Jimin saat ia sudah berdiri di sebelah lelaki muda itu. Dengan sempoyongan ia berjalan menuju kursi yang berada di seberang meja tempat ia duduk tadi seraya menunjuk ke arah Jimin. Matanya setengah terpejam saat ia melanturkan kata-katanya. "Kasur itu terlalu besar. Aku tidak ingin tidur sendirian di sana."

Seokjin lantas tertawa hampa. Pikirannya yang sedari tadi melayang ke sana kemari kembali terasa penuh penat. Mendadak satu nama muncul di kepalanya, dan Seokjin benci setengah mati pada nama itu.

"Keparat Lee Yoonhwa."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
i wish we had a good breakupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang