BAB 1: SATMMDK

1.1K 184 82
                                    

SEKOLAH ASRAMA TIDAK MENJAMINMU MENJAUH DARI KEONARAN

.

.

.

AKU ADALAH ANAK TERKUTUK

Tulisan itu tercetak besar-besar di pakaian Kakek, merah menyala dilatarbelakangi warna kuning neon pada kausnya. Sebuah kesialan besar yang kudapat karena dia mengantarku pergi ke sekolah asrama Choseok―sekolah baruku di tahun kesebelas ini―dengan pakaian satu-satunya yang tersisa dari sekian banyak pakaiannya yang masih di penatu. Kami berada di pelataran parkir luar asrama, tetapi aku bisa merasakan orang-orang di sekeliling kami memandangi Kakek dengan tatapan geli.

Aku menyuruh Kakek untuk segera masuk ke mobil, tetapi dia masih enggan.

"Pergilah dulu, dan aku akan menunggu sampai punggungmu hilang dari pandangan," kata Kakek dengan tampang sedih.

Aku memutar bola mata, "Kakek, ayolah, enggak usah dramatis. Pulang saja dan masak sesuatu buat di rumah."

"Kenapa dari tadi kau mengusirku?" katanya, sementara akhirnya Kakek mengalah dan membuka pintu kemudi. Dia berpaling padaku dan tampang sedihnya berubah menjadi jengkel. "Kau marah karena enggak kubelikan susu pisang di perjalanan tadi?"

"Aku malu karena Kakek pakai baju seperti itu," gerutuku, mendorong Kakek masuk dan menutup pintu mobil. Kutundukkan kepala ke lubang jendelanya. "Enggak ada hubungannya dengan susu pisang, aku sudah 17 tahun dan bukan bayi lagi. Nah, sudah. Hati-hati, ya, Kek."

"Cucu durhaka," cetus Kakek.

"Coba lihat tulisan di baju sendiri. Orang-orang memandangi Kakek seperti badut lelucon, cucu durhaka mana yang enggak tega membiarkan hal memalukan ini terjadi?"

"Yang penting bajunya nyaman, siapa peduli sama tulisannya?"

Aku menghela napas. "Kakek, pulanglah, aku akan meneleponmu jam lima sore nanti. Jangan ngebut di jalan."

"Kau perlu bantuan untuk mendorong koper?"

"Enggak usah."

Kakek tampak sakit hati, dan aku menyesalinya. Namun, aku sudah siap untuk pergi ke gedung asrama. Kuucapkan selamat tinggal untuknya dan dia membalasnya dengan setengah hati. Mesin dinyalakan. Kakek menjulurkan tangannya yang terkepal dari luar jendela, berteriak nyaring; "Awas kalau kau jadi pembuat onar, Jungkook!" Kemudian, mobil melaju pergi (dengan kecepatan tinggi) meninggalkan kawasan sekolah asrama Choseok.

Aku pasti akan bersujud penuh rasa syukur kalau suatu saat melihat Kakek mengubah sikapnya selayaknya manula berusia 76 tahun. Dia memang asyik, tapi kadang sikapya terlalu kekanakan dan cuek. Aku berbalik dan menyadari orang-orang di sekelilingku menatapku dengan tatapan antara geli dan ingin tahu. Cuping kupingku panas, jadi aku cepat-cepat lari ke arah gedung asrama.

Pada lobi asrama, dinding utama di meja layanan menampilkan lambang sekolah Choseok yang berwarna merah dan emas, dilatari panel kayu cokelat mengilat. Seorang petugas―perempuan muda di kisaran tiga puluh tahun―sedang sibuk menelepon dari ponselnya. Riasan bibirnya semerah seragam yang dikenakannya.

Aku mengetukkan buku-buku jari dengan canggung di permukaan meja. Dia mendongak dan wajah berserinya langsung berubah masam. Setelah menutup pangggilannya, berkata padaku, "Ada yang bisa kubantu?"

"Saya murid baru di SMA Choseok, Jeon Jungkook."

Dia mengetikkan sesuatu di layar komputer, "Mana berkasmu?"

Kuturunkan tas ransel dari punggung dan merogoh map merah yang berisi data diriku. Kuberikan pada petugas berwajah tak ramah itu, kemudian dia mengetik beberapa nomor yang tertera di lembar pertama berkas. "Jeon Jungkook, pindahan dari Gyeongsal, Busan."

𝐃𝐈𝐀𝐑𝐘 𝐎𝐅 𝐀 𝐂𝐔𝐑𝐒𝐄𝐃 𝐁𝐎𝐘 (𝐒𝐔𝐃𝐀𝐇 𝐓𝐄𝐑𝐁𝐈𝐓) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang