Tiga hari aku tidak bertemu dengannya. Mina yang mengajarkanku tentang teknik itu.
"Kamu harus punya ruang sendiri untuk menciptakan rindu"
Terdengar puitis namun masuk akal. Bayangkan saja jika kau tahu apapun yang pasanganmu lakukan. Lambat laun hubunganmu dengan pasangan akan membosankan.
Bahkan aku pernah di katakan 'tidak jelas' karena sering menganggunya dengan pembahasan random. Jujur itu membuatku mental breakdown.
Dia lah yang menyuruhku untuk tidak selalu memberi kabar. Lagi pula aku sedang tidak memilik materi pembahasan, maka mencari kesibukan lain adalah solusi terbenar, daripada harus berputar-putar di pertanyaan yang sama.
Namun rasanya aku terlalu lama larut dalam ruang sendiri. Aku putuskan untuk datang menemuinya.
Mina seperti sebuah labirin. Jika kau sudah masuk ke dalam, maka kau harus pintar-pintar mencari jalan keluar. Mungkin ada cara lain yang lebih singkat, sebuah opsi paling praktis sekaligus paling di benci.
Pangkas saja pohon-pohon labirin itu, dengan begitu kau tak perlu repot-repot berputar, berkelok, hingga tersesat mencari pintu keluar. Tapi satu hal yang aku ketahui, kau akan merusak tatanan labirin tersebut.
Jam menunjukan pukul 8 malam. Ia pasti sudah berada di kostannya sekarang. Bisa terlihat dari sepatu yang tergeletak di depan pintu.
Kebiasaan!
Ku ketuk pintu dan menunggu beberapa saat. Aku terhenyak namun aku tidak ingin terlihat panik. Mata semababnya yang membuatmu terkejut.
Aku tidak pernah bertanya "kamu kenapa?" pada Mina jika keadaanya seperti ini, sebab aku tahu alasannya.
Tidak ada yang aneh saat tubuhku sempurna masuk ke dalam kamar kostnya. Ruangan itu masih tertata rapih.
"Aku minta ijin mention orang lain" sejenak aku terdiam saat akan melepaskan jaket.
Baiklah akan ku dengar. Ini bukan tentang etika tapi dia sedang terluka. Dimana rasa empatiku jika aku menjadi 'tuli' untuknya
Aku 'kendorkan' ego dan mulai menguatkan hati. Aku mengangguk dan itu justru membuatnya menangis.
"Tzuyu mau nikah Chaeng!" rengeknya. Demi tuhan itu sangat menggemaskan, maafkan aku.
"Kamu tau dari mana?" ia terdiam, seperti sedang mencari jawaban yang bisa aku terima
"Chatting?" Ia menunduk mendengar pertanyaanku
Benar saja, kontak mantan kekasihnya masih tersimpan di ponsel tersebut.
Aku tidak pernah melarangnya untuk berkomunikasi dengan siapapun tapi jika itu membuat ia terluka, oh maaf aku tidak terima.
"Kan aku udah bilang, jangan pernah chatting lagi sama Tzuyu, kamu pasti bakalan kalah sama emosi kamu" ucapku membuat ia mendongak tidak terima dengan apa yang aku ucapkan
"Tapi chaeng dia yang mulai, dia ngasih tahu tanggal pernikahannya"sergahnya,
Bukan itu alasan Mina menangis. Aku tahu itu.
Ku tatap Mina tanpa bicara sepatah katapun
"Apa liatin kayak gitu?" Aku hanya tertawa melihat Mina merengus seperti itu
"Kamu tiga hari aku tinggalin udah kayak gini aja" kekehku membuat dia semakin murung
"Ga mungkin cuma karena nikah, ya mungkin sih tapi engga mungkin sampe segininya" lanjutku untuk mengkorek sedikit informasi kenapa Mina jadi seperti ini
Oh sedikit ku ceritakan tentang Tzuyu. Dia adalah dokter ortopedi di salah satu rumah sakit dan aku pasiennya. Dia temanku. Eh, dia idolaku. Aku sangat mengagguminya. Mungkin tuhan yang menyembuhkanku saat kecelakan 4tahun silam tapi jika orangtua bilang dia adalah 'perantara'.
Bagaimana aku tidak mengidolakan nya. Ia pintar, tampan dan mapan.
Maka dari itu aku tidak akan pernah bisa membencinya, sebab ia pula yang mengenalkanku pada Mina.
"Dia bilang kalo calon istrinya lebih baik dari aku, padahal dulu kita berjuang bareng-bareng" ucap Mina dengan terisak.
Mina tetaplah seorang wanita, ia tidak akan terima jika dirinya di bandingkan dengan orang lain.
Aku tidak menyalahkan Tzuyu karena semua orang akan seperti itu jika sedang jatuh cinta (Kecuali aku... Mungkin). Hanya saja Mina terpancing dan ia sedang tidak bisa mengontrol emosinya.
"Hindari masa lalu kamu, engga baik. Lagian kalian udah punya jalan hidup masing-masing. Dia juga udah bahagia sama orang lain, apalagi yang kamu penasarin?" Mina hanya diam tidak merespon pertanyaanku
"Masih chat?" Pertanyaanku hanya di balas dengan gelengan kepala olehnya
"Yaudah hapusin semua chatnya" titahku dan kali ini di balas anggukan kepala
Sebuah senyuman merekah di wajahku melihat Mina si keras kepala menjadi penurut seperti ini.
"Seganas apapun singa, akan kalah oleh pawang dan cambuknya"
Lalu bagaimana agar bisa menjadi pawang? Kau harus mempelajari lebih dalam tentang ketakutan dari singa tersebut.
Mina adalah singa, aku adalah pawang dan kalimatku adalah cambuk baginya. Terdengar arogan? Coba aplikasikan itu kepada kekasihmu tapi aku yakin akan memerlukan waktu lama. Seperti aku yang hampir berbulan-bulan 'menyelami' sisi Mina
"Kamu harus jauhin aku kalo suatu hari sengaja atau engga sengaja jelek-jelekin mantan pacar aku ke kamu" ucapku membuat Mina melihat ke arahku saat fokus dengan ponselnya
Alisnya hampir bertautan mendengar apa yang aku ucapkan
"Kemungkinan hal itu akan aku lakuin juga ke orang yang deket sama aku kelak kalo kita mulai renggang" ucapku membuat Mina menatapku tajam
"Realistis lah, perasaan bukan hanya tentang manis tapi pahit juga. Kita sedang merasakan manis sebelum akhirnya mengecap pahit" Mina tidak menghiraukanku dan kembali mengotak atik ponselnya
Sepertinya cambukku mengenainya.
Taulah mau Chaeng ama Mina apaan?!! Gue sebel!! Aku bete!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't say "I love You"
FanfictionAku Son Chaeyoung. Pria dengan idealisme tinggi, musisi tidak terlalu terkenal, pengangguran dan 'gigolo' bagi beberapa wanita. "Bertahan hidup kadang harus mengorbankan harga dirimu" Aku akan bercerita tentang seorang gadis yang aku kagumi. Mari...