Langkahku gontai saat keluar dari sebuah ruangan.
Aku tidak terkejut namun badanku benar-benar lemas. Bukan mendengar diagnosa dokter namun karena demamku yang sudah satu minggu tidak turun-turun.
Gadis itu selalu datang setiap malam, sepulang kerja. Hanya dia yang menemaniku. Mungkin Sana bisa tapi aku tidak ingin merepotkan banyak orang. Entah kenapa aku lebih leluasa pada Mina padahal ia bukan kekasihku.
Sebuah surat berada di genggamanku. Beberapa kali aku terbatuk-batuk karena keringnya tenggorkan. Kantung mata yang semakin menghitam dan tubuh yang semakin mengering padahal baru satu minggu aku sakit.
Namun mendengar diagnosa dokter bahwa aku memiliki AIDS aku paham kenapa bobot tubuhku merosot.
Aku tahu ini sangsi yang di berikan Tuhan karena kebodohanku. Terimakasih telah memberikanku penyakit ini. Aku sadar segala kepuasan sementara akan berakhir sampai di sini.
Tentang menantang ajal, sepertinya do'a itu cepat sekali Tuhan kabulkan. Aku tak menyangka jika Tuhan sangat menyayangi manusia penuh dosa sepertiku.
Selepas dari rumah sakit aku berniat untuk berkunjung ke apartemen Sana.
Waktunya menuntaskan segala permasalahan duniawi.
=====
Matanya memerah, aku tahu dia terluka karena aku pun sama tapi bagaimana lagi? Aku selalu ingin 'menyentuhnya' jika kami masih bersama.
Penyakitku akan membuat ia sengsara kedepannya. Do'a ku tidak muluk-muluk. Semoga wanita yang pernah ku tiduri tidak terkena penyakit yang ku miliki sekarang ini yang entah dari siapapun itu aku tertular.
"Kenapa Chaeng?" lirihnya dengan suara parau.
Sebuah pelukan yang katanya bisa menenangkan sama sekali tidak berarti saat mengatakan perpisahan.
Alasan tidak jelas dan mendadak, membuat ia begitu terkejut saat aku memutuskan hubungan kami.
"Aku merasa jahat aja kalo masih terusin hubungan ini" ucapku seraya mengelus lembut surai wanita yang sedang terisak di bahuku.
Sana, dia akan menerima segala kekuranganku. Namun dia tidak akan mendidikku menjadi pria kuat. Aku yakin ia malah akan semakin memanjakanku karena ke khawatirannya. Aku sangat paham sekali bagaimana cara dia memperlakukanku dengan materinya tapi apakah ia akan mengerti jika ODHA itu tak hanya perlu support materi namun mental juga.
Aku tidak bisa mengatakan yang sejujurnya pada Sana.
Perlahan ku lepaskan pelukan kami dengan tangan merogoh saku celana. Sebuah benda dengan gantungan yang khas bergambar logo sebuah merk kendaraan bermotor ku simpan di atas meja.
Ia memalingkan wajahnya dengan air mata yang semakin mengalir. Sana tahu jika aku akan mengembalikan semua fasilitas yang sudah ia berikan termasuk ponsel yang tentu nya sudah aku reset.
"Maafin aku" ucapku dengan mengecup kening gadis itu.
Kecupanku kali ini sungguh berhati-hati. Aku sangat paranoid jika aku akan menularkan penyakitku bahkan dengan sentuhan kecil sekalipun. Walaupun dokter sudah memberiku beberapa infromasi tentang penularan AIDS.
"Kamu pasti akan lebih bahagia kedepannya. Aku percaya. Jangan pernah mikir ini karena wanita lain" kembali ku peluk erat tubuh Sana dengan tangisannya yang semakin menjadi.
"Kembalilah ke jalan yang benar. Jangan kasih pacar kamu segalanya kayak yang kamu lakuin ke aku. Cari lah pria baik, untuk kamu perempuan yang baik" aku melepaskan pelukan itu dan mulai berdiri dari sofa yang kita sedang duduki berdua di apartemen tersebut.
Pintu apartemen sudah tertutup sempurna. Langkahku seakan melayang. Kini aku harus berjalan kaki untuk pulang ke rumah orang tuaku yang hanya di huni olehku seorang diri.
Betapa menyedihkannya hidupku.
Terdengar derap langkah sedikit cepat. Sana menarik tanganku membuat aku semakin tak kuasa saat melihat maniknya yang seolah memelas.
"Ijinin aku anter kamu pulang. Terakhir, please!"
Oke baiklah, mungkin dia cukup bijaksana menyikapi perpisahan ini karena aku tidak perlu berbelit-belit mencari alasan.
=====
Ku seka air matanya yang tak henti mengalir di pipi gadis itu. Sebuah kecupan singkat melengkapi haru biru di dalam mobil saat terparkir di depan rumahku.
"Sekali lagi aku minta maaf" Sana mengangguk
"Tentang perjodohan kamu sama anaknya temen papah kamu. Pikir-pikir lagi karena sekarang kamu engga ada penghalang lagi, yaitu aku. Aku harap dia pria baik. Siapa namanya? Dahyun?" Sana kembali mengangguk
"Udah ya, kita masih bisa jadi temen. Kalo Dahyun itu brengsek kamu harus bilang aku haha" aku terkekeh mentertawakan kalimatku dan tentunya diriku sendiri.
Pria berpenyakit yang sok jago. Bahkan sekarang karena penyakitku, jika aku berkelahi mungkin dengan sekali pukul saja aku akan tersungkur.
"Take care" ku tepuk kepalanya beberapa kali lalu keluar dari kendaraan beroda empat itu.
Setelah mobil melaju aku membuang nafas panjang. Ku rogoh saku jaketku mengeluarkan surat diagnosa yang di berikan dokter.
Mataku kini mulai memanas, aku termenung meratapi betapa malangnya hidupku. Tangan kiriku mengeluarkan obat yang di berikan dokter.
Aku tidak paham obat apa itu yang jelas aku tidak mengerti tulisan di kotak tersebut. Aku hanya tahu jika isi di dalam kotak tersebut bernama ARV.
Obat yang membantuku bertahan hidup. Sebagai penyandang AIDS aku di wajibkan mengkonumsi obat tersebut untuk membantu kekebalan tubuhku karena imunitasku sudah rusak di 'makan' virus
"Obat apaan?" Suara perempuan menginterupsi pikiranku dan air matapun lolos begitu saja saat melihat wajah khawatirnya.
Lututku terasa lemas hingga terjatuh.
Mina tidak boleh tahu penyakitku. Hanya dia satu-satunya yang menyayangiku dengan tulus. Aku takut dia pergi jika mengetahui penyakitku.
"ARV?" Aku menatapnya terkejut saat ia menyebutkan nama obat yang saat ini aku genggam.
Wanita cerdas itu bahkan tahu obat-obatan semacam ini.
Mina ikut berlutut dengan tangannya mulai memelukku.
Hingga isakan tangis membuatku semakin merasakan perih di hati. Bagaimanapun aku menyakiti Mina, aku sudah membuatnya khawatir dan itu sangat salah.
Tuh kan~
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't say "I love You"
FanfictionAku Son Chaeyoung. Pria dengan idealisme tinggi, musisi tidak terlalu terkenal, pengangguran dan 'gigolo' bagi beberapa wanita. "Bertahan hidup kadang harus mengorbankan harga dirimu" Aku akan bercerita tentang seorang gadis yang aku kagumi. Mari...