Pepatah Jepang mengatakan, jika kita memiliki tiga macam wajah.
Wajah pertama adalah wajah yang selalu kita tunjukkan kepada dunia. Wajah kedua adalah wajah yang ditunjukkan kepada teman dekat dan keluarga. Wajah ketiga adalah wajah yang tidak pernah ditunjukkan kepada siapa pun juga, refleksi dari wajah sebenarnya.
Wajah pertama
Pria maskulin, bertutur lembut dan pandai membuat hati perempuan luluh. Wanita mana yang tidak akan terpesona pada pria semacam itu?
Itu adalah wajah pertamaku.
Tidak mudah bagiku untuk bertahan menunjukan wajah seperti itu. Tuntutan hidup dan kewajibanku untuk mengisi perut selalu membuatku menangis di kala sendiri setiap merenungi 'wajah pertama' ku
Perang batin antara idealis dan realistis selalu membuatku kesulitan untuk tidur pada malam hari.
Mina menyuruhku berhenti meladeni wanita-wanita yang menurutnya bisa membahayakan kesehatanku.
Bergonta ganti pasangan untuk berhubungan sex? Menurutnya itu akan membuatku memiliki penyakit.
Tangan kekarku mengelus rambut pendek sebahu, sementara bayangan Mina terus berputar di kepalaku.
Mobilku masuk bengkel. Mau tidak mau aku harus menemui wanita yang sudah hampir 2 bulan tidak ku beri kabar. Sana belum gajian dan aku paham hanya akan buang-buang waktu jika aku menemuinya sekarang.
Nayeon, gadis yang sangat terobsesi padaku.
Perempuan yang akan memberikan segalanya padaku. Cintanya, tubuhnya dan tentu uangnya.
Semua itu tidak gratis, aku harus memberikan waktuku untuknya sebagai imbalan.
Kami seolah melekat tanpa balutan kain sehelaipun. Hanya selimut yang menutupi tubuh kami yang sedang berpelukan.
Pada akhirnya aku tidak menemukan semangat dan kebahagiaan setelah melakukan hubungan intim. Semua terasa hambar setelah melakukan hal yang sama berulang-ulang kali dengan frekuensi yang rapat.
Dulu aku bisa meniduri 3 wanita dalam satu minggu tapi sekarang gairahku semakin menurun.
Mina juga berpengaruh dalam hal itu. Dulu bahkan aku bisa 'membeli' seorang jalang hanya untuk aku ajak tidur tapi sekarang hidupku bukan hanya tentang sex. Entah apa kebahagiaan ku sekarang. Rasanya aku tidak menemukannya.
Sepertinya hidupku hanya menunggu ajal menjemput yang entah kapan Tuhan akan mengambilnya.
"Anterin aku pulang nanti ya" perlahan Nayeon membuka matanya seraya menebar senyum padaku. Ia mengangguk menjawab kalimatku.
"Mobil kamu kemana?" Wajahnya menelusup ke ceruk leherku dengan kecupan kecil terasa di sana
"Di bengkel, sekalian tebusin juga ya. Paling 2juta" kembali ia mengangguk dengan merapatkan setiap inci dari tubuh kami.
Aku tahu dia kelelahan, walaupun katanya wanita lebih kuat dari pria dalam bercinta namun percayalah aku bukan pria biasa dalam sex.
Wajah kedua
Matanya menatap tajam padaku. Hari sudah gelap hanya ia gadis yang bisa aku temui setelah lepas dari 'pekerjaanku' menguras dompet para wanita.
Kebetulan aku baru selesai mandi di kostan Mina.
Ia tidak bisa berkomentar lagi, aku tahu dia sudah bosan menasihatiku, terlebih ia melihat bekas tanda cinta di dada dan leherku.
Tidak ada yang aku takuti lagi di dunia ini, hidupku terlalu bebas sekarang dan ini sama sekali tidak menyenangkan.
"Kan kamu bisa ngomong ke aku kalo butuh uang" ucap Mina seraya memberikan kaos oblongku yang sudah ia cuci.
Entahlah, Mina seperti bagian dari hidupku yang seakan dekat sekali. Dia seperti kakak tapi aku mencintainya seperti seorang kekasih. Namun jujur saja tak hanya dia yang penuh dengan keraguan, akupun sama.
"Aku laper" ku kenakan kaos oblong dengan kerah yang sudah sobek itu.
Tidak boleh ada yang membuangnya, bahkan Mina sekalipun! Ini adalah seni dari berpakaianku.
Mina kembali setelah mengambil nasi dan beberapa lauk ke meja depan.
"Suapin" titahku membuat Mina menggelengkan kepala dengan sikap manjaku jika di hadapannya
Tubuh kelelahan ini ku senderkan ke punggung kursi dengan Mina yang siap menyuapiku.
Aku mengunyah dengan malas sementara mata fokus melihat ponsel. Melihat beberapa artikel tentang pemerintahan yang membuatku semakin jengah.
"Ini cewek-cewek pada tahu ga kalo kamu manja gini?" Tanya Mina di tengah prosesi makanku
Sejenak aku berpikir, nampaknya hanya di hadapan Mina aku bisa menunjukan sifat seperti ini.
Aku menggeleng membalas pertanyaan Mina
"Cepet makan nya! Kamu segala macem lelet banget!" Pekik Mina membuatku mendelik padanya lalu menuruti perintah Mina dengan mengunyah makananku lebih cepat.
"Kamu engga ada niatan nyari kerja yang bener gitu? Ya di cafe lain kek nyanyi juga atau apa kan itu hobi kamu juga. Soalnya kamu kayak seneng banget dulu waktu kerja di sana" ucap Mina
Wajah ketiga
Mina salah! Aku tidak pernah merasakan kebahagiaan setelah di tinggal kedua orang tuaku.
Aku seperti mayat hidup yang tidak tahu arah tujuan hidupku kemana.
Aku orang linglung yang di pertemukan dengan gadis yang sedikit memberikan pencerahan bagiku.
"Kita nikah yuk!" Mina tertawa kecil memdengar permintaanku
"Aku engga punya siapa-siapa lagi. Aku cuma punya kamu. Cuma kamu yang berani mendidik aku" lanjutku dengan menatap Mina lekat.
Kalimat jujur dan tulus yang aku ucapkan padanya.
"Banyak yang masih aku takutin" Mina menyimpan piring di atas meja dengan membalikan tubunya mensejajarkan dengan posisi dudukku
"Yaudah engga jadi, aku juga masih belum yakin perasaan aku ke kamu itu kayak gimana" ucapku
Aku bisa melihat dengan ekor mataku, gesture tubuh Mina menandakan ketidak sukaan dari kalimatku tapi aku benar-benar masih bingung dengan perasaanku pada Mina. Aku takut ini hanya kasmaran yang tidak berlangsung lama.
============================
Permisi agan
Anjis agan dah kayak anak kaskus aja gue
Hamba punya cerita baru nih. Gaya penulisan ala Break My Wall tapi Sachaeng version.
Yuk di tengok.
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't say "I love You"
FanfictionAku Son Chaeyoung. Pria dengan idealisme tinggi, musisi tidak terlalu terkenal, pengangguran dan 'gigolo' bagi beberapa wanita. "Bertahan hidup kadang harus mengorbankan harga dirimu" Aku akan bercerita tentang seorang gadis yang aku kagumi. Mari...