Chapter 3 : We Don't Need a Mother, We Need a Freedom

104 5 6
                                    

William.

         Albert Calhourn dan Grattella Bliss, siapa yang tidak kenal mereka? Mereka berdua adalah pasangan yang menjadi trending topik di koran harian kota London. Pasangan serasi yang sama-sama memiliki bakat seni yang luar biasa. Setahun setelah mereka menikah, aku lahir dengan nama William Calhourn. 5 tahun kemiduan adikku lahir, Rosemary Calhourn.

         Kami berdua lahir dalam sorotan kamera wartawan. Menjadi penerus dari keluarga Calhourn, yang sering disebut 'Artistic family', kelurga yang menghasilkan banyak keturunan pelukis terkenal. Akan tetapi aku dan Mary tidak mendapat turunan bakat itu. Dibandingkan denganku yang sudah berusia 11 tahun, tentu aja aku sudah belajar banyak hal tentang seni lukis. Sehingga aku masih bisa mengimbangi ketentuan keluarga kami, yang mengharuskan semua keturunannya menjadi pelukis dan seniman. Tetapi Mary berbeda...

         Kami beruda dipaksa untuk mengembangkan bakat lukis kami oleh ibu. Bila kami membuat kesalah dalam lukisan kami, ibu kami akan memarahi kami habis-habisan. Ia bahkan tega memukul kami, dan menyiksa kami. Ibu bahkan pernah menyiram tubuh Mary dengan air panas karna ia bahkan tak bisa menggambar objek sederhana seperti buah dan tumbuhan. Hal itu membuat tangan kanan Mary melepuh dan meninggalkan bekas luka. Ia bahkan sering mengeluh pusing padaku. Semakin lama kesehatannya semakin memburuk.

         Disaat sakit pun Mary masih disuruh untuk melukis. Bahkan ibu masih saja memarahi dan memukulinya. Ayah kami tidak menyadari perihal ini, diakibatkan ia sedang pergi keluar negri dalam waktu yang lama. Para wartawan di luar sana bahkan tidak mengetahui akan kejahatan ini. Akan kejahatan yang terjadi di keluarga Calhourn, keluarga pelukis terkenal, namun memiliki sisi gelap yang tak seorangpun mengetahuinya.

         Ibu bahkan sepertinya tidak menyadari bakat lain dari Mary. Mary mempunyai bakat dalam bidang sains, yang bahkan ia sendiri yang mengembangkan bakat itu. Tanpa campur tangan dari siapapun. Suatu malam ia pernah berkata padaku.

         "Hei apa kakak tahu..." suaranya kecil dan lembut.

         "Tahu apa?"

         "Dua kutub yang sama akan menghasilkan hal yang negatif.... Kedua orang tua kita memiliki bakat seni yang baik, bahkan bisa dibilang seorang profesional. Tapi bukan berarti mereka akan memiliki keturunan yang mempunyai bakat yang sama dengan mereka. Mereka berdua bagaikan dua kutub magnet yang saling menolak... Menurutku itulah mengapa aku tak memiliki bakat itu..."

           Disaat seperti ini bahkan ia bisa mengaitkan sebuah masalah pada teori seperti itu. Itulah salah satu kelebihan Mary.

         "Lebih baik kau beristirahat sekarang. Nanti akan kupikirkan cara untuk secepatnya pergi dari sini... dan aku berjanji akan membawamu ketempat yang lebih baik."

        "Kakak juga cepat tidur... atau kau akan sakit..." Ia tersenyum padaku. Senyum yang memancarkan seribu harapan. Beberapa saat kemudian, Mary sudah tertidur dengan pulas. Aku yang berada di samping ranjangnya membetulkan letak selimutnya dan mematikan lampu, lalu bergegas menjuju ranjangku yang berada tak jauh dari ranjang Mary. Memejamkan mata, dan perlahan-lahan terlelap.

                                                                 ..........

           Keesokan paginya aku terbangun karna segelas air putih yang ibu siramkan pada mukaku. "Cepat bangun anak sialan... hari ini aku ada wawancara untuk sebuah majalah seni, dan baru akan pulang nanti sore... hari ini kau boleh bermain dengan adikmu... yah... walaupun sepertinya ia sudah tidak bisa bergerak..." nada bicaranya ketus, tatapannya sinis, bibirnya menunjukkan senyum yang jahat.

1000 Word'sWhere stories live. Discover now