5

4.7K 379 25
                                    


"Ada apa Mel? Mengapa dua hari ini kamu terlihat murung, maaf jika aku selalu pulang malam, aku janji kita akan segera berbulan madu," Bram mengusap pipi Meli saat ia sudah merebahkan badannya di malam yang sudah sangat larut.

"Nggak papa Mas, aku hanya capek saja, aku sempat mampir ke rumah, nengok ibu yang sejak kemarin kayak kurang enak badan," sahut Meli mencoba mengalihkan pertanyaan suaminya, sejujurnya Meli kembali ingat ancaman ibu mertuanya, ia hanya khawatir jika dirinya tak segera punya anak dan harus meninggalkan laki-laki yang ia cintai.

"Lalu ibu sudah ke dokter?" tanya Bram tak menyembunyikan rasa khawatirnya.

"Rencananya besok, bareng adikku, Meti, mengenai rencana bulan madu, ngga usah lah Mas, aku kepikiran ibu, khawatir ada apa-apa di belakang sementara kita masih asik berbulan madu."

Bram memeluk Meli, mendekap kepala istrinya ke dadanya. Memejamkan mata dan sesekali menciumi ujung kepala Meli.

"Aku ingin kita punya banyak waktu berdua Mel, dekat kayak gini, bukan hanya ketemu pagi hari dan malam hari sama-sama kecapekan karena pekerjaan," ujar Bram semakin mengeratkan pelukannya.

Yah aku juga ingin Mas Bram selalu didekatku, bukan ibu dan kakak Mas Bram yang seolah mengintimidasi aku, menyudutkan aku karena kisah masa lalu ibuku dan bapak Mas Bram.

Meli hanya berkata dalam hati, matanya berkaca-kaca dan tak lama air matanya mengalir membasahi dada Bram yang hanya menggunakan kaos tipis.

"Kamu kenapa? Aku yakin bukan karena ibu sakit pasti ada hal lain kan?"

Bram terlihat khawatir, tangis Meli semakin jadi, meski tak bersuara namun deras air mata istrinya membuat Bram menangkup pipi Meli.

"Ada apa, Sayang?"

"Nggak papa, jangan tinggalkan aku ya Mas, jangan pernah, Mas mau berjanji?"

"Yah, Mas nggak akan ninggalin kamu, apapun yang terjadi."

Bram kembali memeluk Meli, Bram yakin ada yang terjadi antara ibunya dan Meli karena dua hari ini Meli pulang sendiri, tapi dirinya tak berani bertanya, Bram takut menghadapi kenyataan, kenyataan jika ibunya mengatakan hal menyakitkan bagi istrinya.

"Kau mau bersabar kan? Aku yakin kita akan bahagia."

"Yah semoga Mas."

"Mengapa nada suaramu terdengar tak yakin?" tanya Bram.

"Mau terdengar yakin gimana, aku masih nangis gini."

Bram masih saja memeluk Meli sampai akhirnya keduanya tertidur karena kelelahan.

.
.
.

Keesokan harinya benar-benar hari yang membahagiakan bagi Bram, dia bisa pulang lebih awal sebelum Maghrib tiba dan menjemput Meli ke rumah orang tuanya, karena setelah dari kantor Meli menyempatkan diri menengok ibunya yang kurang sehat.

Keduanya sholat di rumah Meli bahkan makan malam bersama adik Meli. Bertiga mereka sempat mendiskusikan kondisi ibunda mereka yang sedang sakit.

"Ibu kenapa sih Dik?" tanya Meli pada Meti adiknya.

"Sejak kakak menikah, ibu jadi sering terlihat sedih, kali karena biasa kumpul trus pindah jadi ya kepikiran kali Kak," sahut Meti," Yang makin aneh karena ibu kan jaga pola makan betul tapi eh tekanan darah naik gak karu-karuan, kemarin aja 240/90 sempat suru opname di klinik sama dokternya tapi ibu nggak mau."

"Kok sampe gitu Dik, makanya ibu terlihat lemes gitu, pusing pastinya, dijaga bener loh ya, jangan sampe ibu bener-bener sendiri," ujar Bram.

"Lah gimana lagi, kan aku kuliah Kak, bisa antar ibu ke dokter karena kebetulan aku kuliah sore, ya kalo aku masuk terpaksa ibu sendirian deh," sahut Meti.

All at once (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang