6

5.2K 352 29
                                    


"Tidak ada yang kamu sembunyikan kan Sayang dari aku?" tanya Bram seminggu setelah kejadian mamanya mencegat keduanya saat mereka pulang dari butik langganan keluarga Bram, perubahan sikap Meli membuat Bram bertanya-tanya. Sering melamun dan tidak fokus saat dia tanya. Bahkan Bram pernah tengah malam bangun karena istrinya mengingau dan berkali-kali mengatakan hal tak jelas.

Saat ia bangunkan, istrinya menangis sambil memeluk dirinya dengan erat. Bram hanya mampu mengusap rambut Meli, berusaha menenangkan dan mengusap berulang bahu istrinya hingga tertidur.

Hingga suatu ketika Bram pulang saat makan siang ke rumahnya hanya ingin tahu ada apa yang disembunyikan oleh istrinya. Tentu Gayatri kaget karena tak biasanya Bram pulang hanya untuk makan siang dengannya.

"Aku yakin kau tidak sedang kangen pada ibu hingga pulang saat makan siang tiba," ujar Gayatri sambil menatap Bram dengan wajah datar.

"Ya, pasti ibu tahu jawabnya mengapa Meli terlihat semakin murung dan semakin tak nyaman di sini, apa ibu pernah mengatakan sesuatu hingga seminggu ini dia terlihat tersiksa bahkan tidurpun mengigau, sedemikian hebat hal yang ibu lakukan hingga istriku terlihat tak waras."

Bram membalas tatapan tajam ibunya, ia tahu ini tidak sopan tapi perlakuan ibunya pada Meli sudah kelewat batas.

"Aku hanya mengingatkan dia tentang tugasnya sebagai seorang istri apa aku salah? Aku ingatkan bahwa ia ada dalam keluarga Adi Laksono jangan samakan seandainya ia masuk dalam lingkaran keluarga lain yang, satu hal lagi segera berikan ibu cucu, aku ingin kita punya penerus untuk melanjutkan kejayaan keluarga kita Bram."

Gayatri melihat tatapan marah anaknya. Ia tahu Bram tak percaya apa yang ia katakan.

"Terserah kau percaya atau tidak, jangan dikira mudah menjadi istrimu, dia harus pantas berdiri di sampingmu, jangan sampai terlihat seperti pembantumu."

"Ibu, jangan paksa aku berkata tidak sopan, Meli istriku, dia pilihanku, tidak selayaknya ibu melecehkan istriku." Bram terlihat marah, wajahnya memerah menahan emosi yang hendak meledak.

"Coba sekali-sekali berkaca berdua, apa pantas kalian berjajar berdua? Dan dilihat tamu-tamu kita, klien-klien kita, karyawan-karyawan kita? Kau merendahkan dirimu sendiri, dia ingin jadi Cinderella, tapi salah masuk rumah dia."

"Apapun yang ibu katakan takkan pernah mengubah keadaan, Meli istriku, dan hanya istriku sampai kapanpun." Bram bangkit meninggalkan ibunya dengan menahan marah.

"Ibu hanya ingin melihat sampai sejauh mana kau betah bertahan di sisinya."

Bram masih mendengar suara keras ibunya yang seolah mendoakan dirinya tak bertahan lama dengan Meli. Bram berusaha berbaik sangka, mungkin ibunya punya maksud baik lain yang ia tak tahu apa itu.

.
.
.

Seminggu ini Bram semakin sibuk, meski sudah diserahkan pada kakaknya persiapan ulang tahun perusahaan yang bertepatan dengan ulang tahun almarhum Bapaknya, tapi Bram tetap melihat dan mengawasi secara langsung, hingga beberapa hari ini istrinya kembali pulang sendiri, dan beberapa kali mulut pedas ibunda Bram mengingatkan Meli agar tidak muncul di acara itu. Meli hanya mengangguk dan pasrah, karena sejak awal ia memang tidak akan hadir pada acara yang akan membuatnya tak nyaman.

"Kau akan membuat malu Bram jika ada di sana."

"Ya, saya tahu Ibu, sejak awal saya memang tak ingin ada di sana."

"Bagus jika kau cukup tahu diri, karena Bram akan berdiri diantara orang- orang yang pantas berada di sampingnya, sebetulnya sejak awal harusnya kau tak masuk dalam keluarga kami, aku tak habis pikir keberanian dari mana yang kau miliki hingga berani berada diantara orang-orang berlebih seperti kami sementara kau, apa yang kau punyai?"

All at once (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang