1 - Aku

199 9 0
                                    

Seperti sore - soreku kemarin, aku selalu menghabiskannya disini, taman kota. Duduk menikmati senja hingga sinar itu menyurut tak bersisa bergantikan malam yang gelap.

Bukan tanpa alasan aku harus menukar rasa lelahku setelah bekerja seharian di kantor. Hanya saja keadaan rumah selalu lebih buruk ketimbang duduk menyendiri disini. Setidaknya tidak akan ada omelan, sindiran, atau apapun yang memojokkanku hingga tak dapat membela diriku sedikitpun.

Dalam dudukku aku selalu berpikir apa yang telah kuperbuat sampai - sampai aku harus menerima keadaan seperti ini? Tidak pantaskah diriku untuk sedikit saja dihargai, terutama oleh keluargaku sendiri?.

Jawaban yang bisa kukeluarkan hanyalah sebuah hembusan napas kasar. Mungkin aku memang tidak pantas sehingga mereka menperlakukanku seperti sekarang, layaknya orang asing yang telah mengambil satu tempat dalam sebuah keluarga.

Melihat kebersamaan keluarga di salah satu sudut taman selalu membuatku merindu akan momen itu, momen yang sudah mengabur bahkan mungkin menghilang sejak 10 tahun yang lalu. Dimana aku yang merasakan kebahagiaan karena dikasihi dan dicintai oleh Ayah dan Ibu.

"Pulang sekarang?" Suara disampingku menginterupsi pikiranku dan kini sudah teralih padanya. Dia Putra— kekasihku.

Aku tersenyum kemudian mengangguk sebagai balasan. Setidaknya satu tahun ini ada Putra disampingku. Sejak kehadirannya aku kembali merasakan cinta dan kasih yang diperuntukkan kepadaku.

"Ayo!" ajaknya sembari menyampirkan jas miliknya ditubuhku sebelum kami benar-benar pergi meninggalkan taman.

"Ayo!" ajaknya sembari menyampirkan jas miliknya ditubuhku sebelum kami benar-benar pergi meninggalkan taman

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Hati - hati" selalu menjadi hal yang paling berat melepas kepulangan Putra. Aku tidak bermaksud berlebihan, karena sesungguhnya rumah dihadapanku ini sangat jauh dari kata rumah yang hangat.

Aku pernah mengutarakan keinginanku untuk pindah pada Putra. Namun pria itu mengatakan "tunggulah sampai aku melamar dan menikahimu. Hanya saat itu kau boleh pindah, dan tinggal bersamaku" kalimat yang membuatku meleleh disertai jantung yang berdegup seakan mau melomoat dari tempatnya. Dan hal ini juga yang bisa membuatku bertahan berada di rumah ini.

"Mm. Kau juga sayang. Istirahatlah" dia mengecup singkat pipiku kemudian memasuki mobilnya meninggalkan pekarangan rumah.

Setelah kepergian Putra tungkaiku melangkah mendekati pintu rumah. Jika saja rumah ini seperti rumah kebanyakan— maksudku sebuah tempat kembali saat kau sedang lelah, bersedih, dan terpuruk juga tempat kau bisa menjadi dirimu sendiri. Namun semua hanyalah angan semata karena ditempat ini aku mendapatkan semua kesakitan itu.

Kubuka pintu secara perlahan dan masuk tanpa sepatah katapun. Meski aku menyahut tak akan ada yang menjawabku.

"Selalu saja terlambat! Aku sudah lapar karena menunggumu!" rutuk Senjani yang tengah menuruni anak tangga.

Memilih diam tak menjawab dan kembali melangkah menuju kamarku di lantai 2, tepat bersebelahan dengan milik Senjani— adikku.

Setelah membersihkan badan, aku segera turun ke ruang makan. Kukira mereka sudah selesai, memulainya tanpaku sebab kedatanganku sudah lewat satu jam dari jam makan. Rupanya mereka masih disana.

"Apa yang membuatmu begitu terlambat? Tidak disiplin!" Ayah melirik tajam dari tempat duduknya.

"Maaf Ayah" aku menunduk merasa bersalah.

"Dasar tidak tahu diri. Yang diurusi cuma pacaran saja!" Senjani dari tempat duduknya ikut bersuara.

Aku mendelik tak suka kearahnya. Apa maksudnya berkata seperti itu? "Tidak usah ikut—"

"Semua sudah berkumpul, ayo makan!" potong ibu.

Selalu saja seperti ini, aku tak pernah punya kesempatan untuk membela diriku sendiri.

"Senjani sayang, bagaimana harimu di kantor?" Ditengah makan Ayah memulai pembicaraan. Tertuju pada Senjani si putri kesayangan. Lihat saja tutur katanya melunak seketika jika berhadapan dengan Senjani. Sikap yang tak lagi ada untukku.

"Sangat memusingkan Ayah. Jadi Direktur Utama itu memang tidak mudah, oleh sebab itu harus diemban oleh orang yang mumpuni" aku tahu dia sedang merendahkanku. Ingin memperlihatkan bahwa dirinya adalah orang yang dipilih oleh Ayah untuk melanjutkan perusahaan, saat ayah pensiun nanti.

"Memang tidak mudah. Tapi kau harus terus belajar untuk menjadi seorang Direktur utama yang sukses seperti ayah. Mengerti?"

Senjani mengangguk "tentu saja. Aku takkan mengecewakanmu seperti putri ayah yang lain" timpalnya.

Tangan kiriku semakin erat menggenggam garpu mendengar perkataannya. Mengapa aku harus mengecewakan? Selama ini aku mengikuti perkataan Ayah untuk berkuliah Desain Grafis, setelah sebelumnya berada di jurusan Manajemen.

Aku selalu menuruti perintah ayah tanpa bantahan.

"Bagus. Itu baru putri Ayah"

Hatiku semakin memanas. Ingin segera meninggalkan meja makan sekarang juga. Namun saat tungkaiku hendak berdiri pertanyaan ibu menginterupsi "bagaimana dengan harimu?" Pertanyaan yang lama tak muncul sejak 10 tahun terakhir.

 Namun saat tungkaiku hendak berdiri pertanyaan ibu menginterupsi "bagaimana dengan harimu?" Pertanyaan yang lama tak muncul sejak 10 tahun terakhir

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.

Holaaa~
I'm Halcyon

Have someone told you that you are fabolous? If have not yet, I will say it. YOU ARE FABOLOUS💜

ONLY METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang