10 - Kebenaran

88 5 0
                                    


Ibu menarik napasnya panjang kemudian ia hembuskan dengan perlahan. Dia menatapku dengan air mata yang tak bisa berhenti mengalir.

“itu terjadi saat dimana ayahmu sangat gila dengan pekerjaannya. Tak ada lagi waktu untuk ibu, berangkat pagi dan pulang sangat larut. Bahkan obrolan kami tak jauh dari ucapan selamat malam atau selamat pagi. Ibu merasa sangat kesepian saat itu. Ibu tak pernah membenarkan perbuatan Ibu. Namun ibu mencoba segala cara agar tidak merasa kesepian. Pada akhirnya malah terjerumus dan melakukan hal yang tak seharusnya ibu lakukan.”

“dia, ayahku yang sebenarnya?” tanyaku.

Ibu mengangguk “ya, dia Aabdar” – “namun dua bulan kemudian Aabdar kecelakaan dan meninggal, pada saat itu juga ibu baru tahu tengah mengandung dirimu. Ibu tak mengatakan kenyataannya pada ayahmu, ibu sudah tak mempunyai keluarga, dan ibu tak ingin kau harus lahir dan besar tanpa keluarga, buruknya tanpa seorang ayah”

Aku terdiam ditempatku, ikut merasa perih mendengarkan cerita ibu. Aku tahu ibu pernah melakukan kesalahan. Namun dia tetaplah seorang ibu yang akan dan selalu melindungi anaknya. Ibu tak ingin aku merasakan hal yang sama dengannya, menjadi bahan ejekan karena tak punya keluarga – dan dalam kasusku seorang ayah.

“untuk itu ibu menyembunyikannya. Hingga hari saat kau mengalami kecelakaan dan membutuhkan donor hati. Ayahmu tahu semuanya dari sana jika kau bukanlah putri kandungnya”

Kini aku mengerti semua perubahan itu memang terjadi setelah kecelakaan, dimana ayah tahu kebenarannya.

“lalu Senjani?”

“Senjani mencuri dengar saat kami terlibat percakapan sengit didepan ruangannya saat itu”

“Chandani, ibu minta maaf atas semuanya. Kau menanggung benci yang seharusnya tertuju pada ibu. Ibu juga minta maaf karena tak mengatakan kebenarannya padamu, ibu terlalu malu atas perbuatan ibu”

Aku menggeleng menghampiri ibu yang menangis tertunduk “tidak ibu. Maafkan aku karena sudah berkata kasar tidak akan memaafkan ibu saat itu. Aku memaafkan ibu” aku menghambur ke pelukan ibu. Pelukan yang amat aku rindukan

Aku berjalan menuju tempat ijab dengan ayah yang menggandeng lenganku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku berjalan menuju tempat ijab dengan ayah yang menggandeng lenganku. Disana Sakha sudah berdiri gagah dengan tuxedo yang membuatnya terlihat begitu tampan.

Aku sangat gugup. Beberapa kali melempar pandangan pada ayah, berharap ia dapat sedikit menghilangkan kegugupanku. Namun ia tetap tak bergerak, matanya memandang lurus sembari tetap menuntunku.

Sejenak kemudian netraku memandang karpet berwarna merah yang tengah kupijak. Padahal bukankah sebelumnya ayah akan menerimaku seperti sebelum dia mengetahui kebenarannya? Tapi bahkan tak ada yang berubah sejak aku menyetujui pernikahan ini. Ayah masih tetap dingin, ya meski kini tak terlalu sering memihak pada Senjani.

Setidaknya aku berharap ayah akan mengucapkan beberapa kata disaat terakhir aku menjadi tanggung jawabnya. Karena selepas mengucap ijab nanti, aku adalah tanggung jawab Sakha.

Tiba didepan meja ijab, ayah bergerak menuntun tangan kanan ku untuk menggapai tangan Sakha yang sudah terulur dihadapan kami.

Sekali lagi aku menengok menatap ayah. Detik selanjutnya, itu adalah momen terindah untukku, saat ayah melangkah mendekat dan mengecup keningku kemudian memelukku.

Aku menangis

“maafkan ayah.” ada getar dalam suara ayah meski tidak terlalu kentara. Pria yang menjadi cinta pertamaku ini menatapku yang sudah banjir air mata sembari menghapus jejaknya dari kedua pipiku “Kau sangat cantik sayang, jangan menangis” ucapnya sebelum benar – benar menyerahkan diriku pada Sakha.

Sakha tersenyum tipis pada ayah kemudian membawaku menuju meja ijab. Dia mengusap lembut punggung tanganku, mencoba menyalurkan ketenangan lewat sentuhannya.

Kutarik napasku dalam kemudian menatap pria yang siap menuntun Sakha mengucap ijab.

Dengan tegasnya Sakha mengucap ijab yang akan mengikat kami berdua.

Untuk kesekian kalinya aku menatap mata hitam Sakha, selalu terang dan berhasil membuatku tenang serta tak ingin lepas memandangnya.

Satu kata sah terucap dari para tamu undangan dan juga kedua orangtuaku.

Sakha duduk menghadapku mengulurkan tangannya yang segera kusambut. Kucium punggung tangannya sebagai tanda aku siap mengikuti bimbingannya sebagai seorang suami.

Dalam satu tarikan Sakha mengecup keningku. Menatapku dengan mata terangnya serta senyum teduh itu.
“ayo bangun kebahagiaan bersamaku” aku tersenyum mengangguk merespon ucapannya.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
ONLY METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang