11 - Dia

81 6 2
                                    

Pagi sangat cepat menjemput. Silau matahari yang siap menyambut hari sangat mengangguku. Rasanya terlalu nyaman meninggalkan tempat tidurku saat ini. Ya nyaman.

"astaga!" mataku terbuka lebar saat merasakan sebuah tangan yang berada dipinggangku.

Badanku bergerak mundur, tetapi lengan itu justru menariknya kembali - bahkan kini memelukku dengan erat.

"sebentar lagi sayang, badanku masih lelah" ucap Sakha parau dengan mata yang masih memejam.

Ya, kini aku ingat. Kemarin adalah hari pernikahanku dengan Sakha, hari yang benar - benar melelahkan. Aku hanya belum terbiasa mendapati seorang pria berada diatas ranjangku.

"Kenapa kau seperti terkejut begitu?" tanyanya kini sudah membuka kedua matanya.

Aku tersenyum kaku, tak tahu harus menjawab apa untuk pertanyaannya.

"kau terkejut mendapati lelaki tampan diranjangmu?" jawaban Sakha terlampau benar, membuatku menolak tatapannya dan melemparkan pandangan pada lukisan laut di dinding kamarku.

"Astaga, kenapa kau bisa begitu menggemaskan? Membuatku semakin sayang padamu" semuanya terjadi sangat cepat, saat dia meraih bibirku dan melumatnya.

Aku meraup udara sebanyak - banyaknya saat dia melepas tautan kami. Perlakuannya yang sangat lembut padaku selalu sukses membuat pipiku memanas.

"A..aku hanya belum terbiasa. Menikah secepat ini dan mendapati, ya lelaki di kamarku"

Dia tersenyum kemudian mengecup bibirku.

"aku akan terus melakukannya hingga kau terbiasa" gemas Sakha mengusap pipiku.

"Hei!" aku gugup, sangat. Bisa - bisanya pria ini membuatku kacau karena senang di waktu sepagi ini.

Namun sejenak aku menurunkan pandanganku. Setiap kali aku merasa senang pasti kesakitan besar akan menghampiriku setelahnya.

Apa Sakha benar - benar tulus padaku? Atau ini akan berakhir seperti Putra?

"Kenapa?" tanyanya melihat raut wajahku yang berubah.

"tidak apa - apa, ayo kita sarapan" aku bangkit melepas lengan Sakha kemudian bangkit dari tempat tidur.

"tidak apa - apa, ayo kita sarapan" aku bangkit melepas lengan Sakha kemudian bangkit dari tempat tidur

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah acara pernikahan, aku masih pulang ke rumah orangtuaku bersama Sakha. Sebab, esok hari aku sudah harus pergi meninggalkan negeri ini mengikuti Sakha ke Australia. Membiarkanku menikmati waktu yang tersisa sebelum pergi.

Sakha sudah membicarakannya padaku sejak satu bulan lalu, akan membawaku pindah karena pekerjaannya disana-- mengembangkan perusahaannya di negeri kangguru itu.

"wah pengantin baru bangun pagi sekali, selamat ya. Maaf kemarin aku tak sempat datang karena sedang berada di Singapura" langkahku sempat terhenti tatkala melihat Putra yang berada di meja makan sembari melambai dengan senyum.

Sungguh, tebal muka sekali dia. Semenjak kami putus, Senjani berani membawa Putra-- mengenalkannya pada ayah dan ibu. Hal yang sebelumnya tak kulakukan, pun Putra selalu menolak. Astaga, mengapa aku sangat bodoh saat itu hingga tak menyadari semuanya?

Baru aku akan menyahut untuk membalas, keberadaan sebuah tangan yang menautkan jemarinya padaku membuat atensiku teralihkan.

Sakha membawaku ke meja makan yang baru diisi Putra dan Senjani sementara ibu tengah memanggil ayah.

"terimakasih karena tidak datang. Karena aku memang tak mengundangmu" bisik Sakha menaikkan salah satu sudut bibirnya. Astaga, aku mendengarnya dengan sangat jelas. Kemudian ikut tersenyum melihat raut wajah Putra yang berubah menahan malu. Sementara Senjani melirik penasaran pada apa yang terjadi.

Tak menunggu lama, ayah sudah sampai bersama ibu dibelakangnya.

Kami melakukan sarapan dengan tenang, sampai akhirnya ayah membuka percakapan "Sakha, pukul berapa pesawat kalian berangkat?"

"8 pagi takeoff, ayah" balas Sakha

Ayah mengangguk "jangan bekerja terlalu keras, Chandani sekarang adalah tanggung jawabmu sekarang. Tinggal di negeri orang, kalian harus baik - baik saja" aku menatap ayah yang baru saja menyelesaikan kalimatnya yang sarat akan rasa bersalah. Kupikir kepindahan kami mengingatkannya pada masa lalunya dengan ibu.

"tentu ayah. Kami akan baik - baik saja. Kami akan saling menjaga. Benarkan sayang?" Sakha melirikku. Astaga, mengapa dia seberani ini mengumbar kemesraan dihadapan ayah dan ibu.

"y..ya benar. Kami akan baik - baik saja" sahutku.

"ya aku percaya kau akan menjaganya dengan baik"

"barang yang akan kau bawa sudah selesai dikemas?" kini gantian ibu yang bertanya padaku. Hari ini benar - benar tiba, dimana ayah dan ibu kembali membagi perhatiannya untukku.

"Chanda?" sahut ibu

"oh ya bu, tinggal beberapa lagi"

"punyamu Sakha?"

Sakha menaruh gelas yang baru ia tenggak isinya "sudah bu, akan diambil nanti malam"

"Chandani selalu lupa menutup jendela saat akan tidur. Kau harus mengingatkannya" imbuh ibu. Jadi selama ini yang selalu menutup jendela kamarku adalah ibu karena setiap pagi menjemput aku selalu mendapati jendela kamarku dalam keadaan tertutup.

"gadis ini mudah sakit jika terkena angin, tapi selalu saja lupa menutup jendela" ibu terkekeh membuatku malu.

"tenang saja bu. Aku akan selalu memastikan putri ibu tetap hangat dengan.."

"Sakha hentikan, tidak sopan"

"loh memangnya kenapa? Kan aku bisa memberimu selimut"

Ayah terkekeh disana melihat aku yang beradu mulut dengan Sakha "sudah - sudah kau membuat Chandani malu"

Pipiku semakin memerah saat ayah menangkap basah raut wajahku.

"ayah, ibu tidak usah berlebihan! Chandani sudah besar!" disana Senjani berdiri dengan wajah yang merah padam. Sepertinya dia sangat tidak suka ayah membagi perhatiannya untukku yang sebelumnya hanya ada untuk dirinya.

"Senjani, tidak sopan berdiri saat masih makan!" tegas ayah membuatku cukup terkejut karena nada bicara ayah tidak lagi lembut. "jangan bersikap kekanakan. Kakakmu akan pergi jauh seharusnya kau bersikap lebih baik padanya"

Aku terdiam ditempatku tak menyangka ayah akan berkata seperti itu pada Senjani.

Mendengar jawaban ayah, Senjani semakin menatap benci padaku "dia bukan kakakku" ucapnya meninggalkan meja makan begitu saja.

"biar saya yang menyusulnya paman" pamit Putra.

Ayah mengangguk sebagai jawaban. Ia menarik napasnya panjang "Chandani tak usah didengar apa yang dikatakan oleh Senjani" imbuh ayah.

Aku mengangguk. Mengerti jika Senjani memang sangat tak suka harus berbagi kasih sayang denganku yang bukan kakak kandung seutuhnya.

 Mengerti jika Senjani memang sangat tak suka harus berbagi kasih sayang denganku yang bukan kakak kandung seutuhnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
ONLY METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang