2. Bu Waketu

46 2 0
                                    

Demi apa tuh cewek nyebelin!!

Siapa lagi kalau bukan Zara Maylani Oktavia. Cewek yang sudah buat hariku kesal. Ya, aku tahu ini memang salahku karena kemarin aku mementingkan kepentingan sendiri saat ia susah bersama Haris.

Karena apa? Aku kemarin pulang lebih awal karena Luli sakit. Dia adik perempuanku satu-satunya yang paling aku sayangi. Dia demam sepulang sekolah di SMP Tunas Bangsa, salah satu sekolah swasta di desaku. Jadilah aku yang mengurusnya ketika bapak dan ibuku bekerja sebagai guru di salah satu sekolah negeri belum juga pulang.

Kupandangi ia lagi. Belum juga memberitahu alasan kenapa sampai detik ini belum memberitahu alasannya. Ia masih tertunduk, memandangi proposal kegiatan yang seminggu lalu digarap bareng.  Alis matanya tipis, mukanya putih bersih rada bulat. Giginya putih tak rapi, karena ada gigi gingsul yang membuatnya makin manis saat tersenyum.

Ya, kuakui itu. Zara memang cantik, memukau dan memikat pria manapun, kecuali aku.

Aku masih tetap menganggapnya teman setia. Kalau lebih, katakanlah sahabat. Atau mungkin sebatas partner yang saling membutuhkan.

"Dan, kamu jangan marah yaa–" ucapnya kemudian. Nadanya sedikit khawatir seolah-olah aku akan menerkamnya.

"Marah buat apa? Udahlah cepet kasih tau," balasku tak sabar. Kujejeri ia di sebelah kursi kosong. Hanya kami berdua di ruang OSIS.

"Sebenarnya Pak Hadi lagi pergi ke luar kota selama seminggu. Jadi, untuk nunggu tandatangannya harus sabar. Kata Bu Puspita sih kemungkinan bisa di ACC proposalnya, tapi ya itu lama," balasnya menerangkan.

Aku mengangguk paham.

"Gak papa, yang penting nanti bisa di ACC. Makasih ya, Ra. Udah mau berjuang selama ini. Nemenin aku bolak-balik ke ruang OSIS, nemuin guru, dan lain-lain," ucapku tulus.

Ia hanya tersenyum. Mungkin saja Zara masih enggan berbicara banyak denganku, atau ia lagi puasa bicara? Entahlah. Kupandangi ia sekali lagi. Alisnya masih tetap tipis, tak berubah sama sekali. Kalau dikerok mungkin bisa lihat setan kali yah?

"Sorry, Dan. Aku pulang dulu ya, mau bantu ibu di rumah," ucapnya kemudian memberikan proposal padaku.

"Aku anterin ya?" Tawarku cepat.

Aku tahu, rumah Zara memang dekat dengan sekolah. Tapi ya, aku ingin sesekali balas budi selama ini udah banyak membantuku, menjadi partner setia dalam hidupku. Dan selalu menjadi pelengkap 1 dalam angka sebelas, kata Zara beberapa Minggu lalu.

Dia wakil ketua kelas, selama hampir 2 tahun lamanya. Dia sekretaris dalam kepengurusan OSIS yang saat ini sedang berlangsung, diketuai olehku pula.

"Gak usah, Dan!"

"Kenapa?" Sergahku cepat.

"Gak papa, lagi pengen sendiri aja," sahutnya.

Aku mengangguk.

Zara lantas mengambil tasnya yang tergeletak, lalu ia gendong di belakang.  Tas warna abu-abu tanpa motif melekat di tubuhnya sangat serasi.

Terimakasih, Ra. Sudah menemani dan berjuang selama hampir dua tahun lamanya.

🌻🌻🌻

Hari Selasa datang. Kami para siswa mengenakan seragam OSIS seperti biasa, putih abu-abu. Konon katanya, masa-masa SMA akan menjadi moment paling mengesankan. Kuakui sedikit iya, hanya saja aku belum menemukan letak keindahannya itu dimana. Hari-hariku sama saja, belajar, memimpin rapat, dan sesekali diskusi.

Sebelas OktoberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang