4. Oh Hati,

33 2 0
                                    

{Happy Reading}

Aku tak bisa tidur malam ini. Pikiranku menembus pengalaman tadi pagi dan sore di sekolah. Bayangan Zidan meracuni pikiranku. Duh, harus bagaimana ini? Pertama kalinya aku menyukai seseorang sampai sedalam ini?

Kubolak-balik buku yang sedang terpampang di depanku, pelajaran sejarah tentang Revolusi Perancis. Besok sebenarnya ulangan, tapi aku sudah menyimpan persediaan catatan beberapa hari lalu untuk persiapan.

Kuamati sekeliling kamarku. Penuh dengan tempelan rumus matematika dan sebagian kecil rangkuman pelajaran yang memang belum sepenuhnya aku pahami. Kupandangi langit-langit kamar, sudah banyak sawang ternyata. Okelah, kapan-kapan aku akan membersihkan.

Rumahku sederhana. Setengah tembok, setengah triplek biasa. Dari yang dulunya hanya anyaman bambu saja. Aku adalah anak desa Mardiakara yang masih akan tetap menjunjung tinggi pendidikan kala anak seusiaku di desa ini sibuk merantau.
Tekadku bulat, untuk menerjang mimpi menjadi seorang pengacara. Ya, kelihatanya tak mungkin, tapi aku akan terus melangkah, merangkak perlahan untuk mewujudkannya.

Sebab aku yakin, apapun di dunia ini bisa terjadi.

Beberapa menit kemudian, mamaku membuka pintu–

"Makan dulu, Ra" lembutnya seraya menatap ke arahku.

"Nanti ma, Zara masih mau belajar" balasku sambil memandang jam dinding yang menunjukkan pukul 8 malam.

"Ya udah, jangan sampe gak makan ya" perhatiannya lagi.

Aku mengangguk. Dalam hati bersyukur masih diberi kasih sayang oleh orang tua yang sangat baik. Meski diusianya hampir menginjak 40 tahun, mama masih tetap cantik. Walau bekerja sehari-hari sebagai pedagang gorengan keliling desa setiap pagi dan sore. Sedangkan papaku merantau ke Jakarta. Aku di rumah dengan mama dan kakak laki-lakiku yang bernama Zaki. Dia sekarang mahasiswa fakultas Hukum di salah satu universitas di Jogja. Itulah salah satu alasan mengapa aku ingin membuntuti jejaknya.

Kumainkan pulpen yang ada di tanganku. Aku memang tak punya meja belajar khusus untuk belajar, hanya punya rak buku di atas lemari plastik. Bukuku kebanyakan berserakan di atas kasur.

Hape ku juga tak sebagus teman-teman. Yang penting bisa untuk WhatsApp, itu sudah cukup bagiku. Dan aku juga baru saja buat akun Instagram, itupun atas saran Zidan.

"Kalo kamu gak mau buat, biar aku buatin akunnya, nanti kamu kirim e-mail nya, dan aku kirim user name sama password-nya ke kamu. Boleh kamu ganti kok paswordnya," ucapnya tempo lalu.

Ah, lagi-lagi Zidan. Aku telah terbuai– dengan pesonanya.

Ddrrttt...

Hapeku bergetar. Panggilan masuk dari Haris rupanya. Dengan cepat, kuangkat.

"Hallo, Ris,"

"Ra, tau stempel OSIS di mana? Kemarin seingetku aku ngasih tau ke kamu deh" ucapan Haris membuatku tersedak kaget.

"Loh, bukannya kamu yang masukkin ke tas kamu. Lupa mbok naruh dimana," sahutku menyalahkan.

"Enggak, Ra. Aku kasih ke kamu, coba cek deh di tas kamu," sahutnya.

"Oke aku cek,"

Kuambil tas di sebelahku sedari tadi di sampingku. Kuobrak-abrik isinya, dan nihil. Tak ada!

Aku inget betul, dia menyimpan di tas.  Sama sekali gak ngasih ke aku. Loh, lalu kenapa dia nuduh aku yang bawa?

"Gak ada, Ris"

"Coba kamu telpon Zidan, barangkali sama dia," sarannya.

"Gak mungkin lah, Ris" balasku tak percaya diri.

"Coba dulu–"

Aku menggigit bibir bawahku sendiri. Menyebalkan sekali. Kadang gini, simpang siur. Sabar Zara!

Detik selanjutnya, aku tak menggubris Haris. Kupencet tombol yang menghubungkan panggilan untuk menelpon Zidan.

Dar!

Sedang dalam panggilan lain.

Hatiku mendadak ngilu. Dia telepon dengan siapa? Apa dengan Ifa, anak SMA N 1 Mardiakara? Cewek cantik yang dari dulu sering Zidan ceritakan ke aku, cewek yang dari dulu mengejar Zidan tapi Zidan belum merespon. Dan, apa sekarang Zidan sudah membuka hatinya?

Pikiran burukku berkecamuk. Tak seharusnya aku selalu berpikiran buruk tentang dia. Harusnya biasa saja.

Detik berikutnya, panggilan masuk dari Zidan. Dadaku berdegup kencang. Dengan hati-hati, kuangkat telponnya.

"Hallo Ra, ada apa? Sorry, tadi bang Redo nelpon" ucapnya seketika yang membuat kegelisahanku sirna dalam sekejap.

"Mm.. mau nanya. Jangan marah ya, Dan"

"Santai, Ra–"

"Tau stempel OSIS di mana, Dan? Aku dan Haris lagi gelagapan nih, maaf ya" curhatku selalu merepotkannya.

"Oh santai, Ra. Kemarin aku lihat di ruang OSIS. Emang iya, Haris memasukkan ke tas, tapi setelah itu kan bundahara minta stempelnya ke Haris dan dia ngasih. Dia aja yang lupa," ceritanya yang membuatku lega tingkat dewa.

Jelas, daripada nanti hilang dan harus buat stempel baru. Nambah ribet urusannya!

"Oalah gitu, okedeh," balasku singkat.

"Ra, kembali seperti dulu ya. Jangan jutek di dekatku,"

"Iya, Dan"

"Ra, Sabtu sore temenin ke ruangan Bu Fifi ya, ada laporan yang harus segera disampaikan. Hari Minggu temenin ke toko buku ya, aku pengen beli novel buat adekku," pesannya bertubi-tubi.

"Kalau Sabtu sore sih insyaallah bisa, Dan. Kan cuma sebentar, tapi maaf untuk Minggu pagi aku sibuk. Harus bantuin mama jualan soalnya. Ya, maklumlah keluargaku gak semampu keluargamu," balasku mengutarakan apa adanya.

"Oalah iya maaf, Ra. Iya makasih sebelumnya.."

"Santai, Dan"

"Selamat tidur, Ra"

"Iya, Dan"

Kumatikan panggilan seketika. Rupanya perutku meronta-ronta, lapar. Segera aku turun dari kasur, dan menuju luar. Sepi. Padahal baru saja jam tengah 9.

Konon katanya kalau makan malam, pagi-paginya jadi lapar. Tapi aku tak peduli, intinya sekarang diisi dulu perutnya, sebelum mama ngomel-ngomel gak jelas karena putri satu-satunya belum makan. Urusan makan memang kadang kuabaikan.

Tuhan, kenapa harus Zidan orang yang aku suka?

Lagi-lagi Zidan. Aku semakin tersiksa dengan kehadirannya. Sebatas bersama tanpa ada hubungan apa-apa. Dia terlalu istimewa untukku miliki, dan aku terlalu melambung tinggi untuk mendapatkannya.

Ku tepis jauh-jauh. Lantas tanganku bergerak membuka tutup nasi dan sekawanan temannya, lauk dan sayur. Dalam hati, gak bisa bayangin jika jauh dari orangtua, pastilah akan merindui masakan mereka. Terbesit bagaimana nanti jika aku kuliah, pasti merasakan hal itu. Jika, yaa?

                               🎉🎉🎉

Zidan POV

Layar laptop kupandangi seksama. Tugas Bu Fifi rumit juga ya. Mendata anak kelas beserta biodatanya dan segudang prestasinya. Ya, sebenarnya sih anak kelas jarang ada yang juara. Palingan si Sapto, juara melawak tingkat SMA waktu diadakan pekan lomba satu tahun silam di SMA N 1 Mardiakara.

SMA N 1 Mardiakara. Sekolah yang sudah mempertemukanku dengan Ifa, saat aku mengantar Sapto. Dia cantik, bahkan kuakui lebih cantik dari Zara. Selalu menerorku saban hari, dan jarang sekali kubalas chattnya.

Meski setelah itu saat kuceritakan pada Zara, dia berubah. Menjadi lebih pemurung dan pendiam. Apa ini gara-gara aku juga?

Kujambak rambutku sendiri. Meracau tak jelas.

Aku takut, jika Zara jatuh cinta padaku lebih dulu. Aku takut dia suka padaku, aku belum mempersiapkan apa-apa untuk membahagiakannya.

Oh hati, aku takut.

🎉🎉🎉

Ciwarak, 14 Agustus 2020

Jangan lupa vote and comment di tunggu.

Sebelas OktoberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang