Bibir Stacy terkatup rapat saat Bibi Drew memberitahukan kabar buruk mengenai panti tempat penampung orang-orang tua yang terlupakan oleh sanak saudaranya. Pikiran Stacy hanya satu, ia akan melakukan apa saja asal bangunan penuh canda tawa ini tidak dihancurkan dan tetap berdiri kokoh.
Dan pada saat Drew mengatakan ada satu cara untuk mempertahankan, Stacy tampak antusias. Apa lagi saat sang bibi menjelaskan hal itu harus dilakukan oleh dirinya langsung. Sebuah pernikahan adalah syarat yang diajukan agar keinginan Stacy terkabul.
"Bibi tidak akan mamaksamu. Semua keputusan ada ditanganmu. Jika kau keberatan, Bibi akan mencari bantuan dari panti lain agar mau menampung para orangtua di sini." Drew mengela napas rendah. "Tidak mungkin juga bila mereka dipulangkan pada keluarga masing-masing."
Kedua tangan Stacy tampak saling mengait, bahkan sesekali meremas bersamaan isi kepalanya yang tengah berpikir keras. "Apa tidak ada cara lain?" tanyanya ragu.
Drew menggeleng lemah. "Cuma itu yang dinginkan. Sudah malam, kau tidurlah. Bukankah besok kau giliran masuk pagi jaga toko?"
Stacy melihat mata sendu itu penuh kesedihan. Jika ia menolak ini sama saja ia egois. Sepuluh tahun sudah ia berhutang pada wanita tua ini. Memberikan tempat tinggal layak tanpa mempermasalahkan keadaan dirinya saat itu yang menanggung aib.
"Aku bersedia menikah dengannya," ucap Stacy tegas.
Wanita berambut putih itu menatapnya tak berkedip. Mencoba memastikan apa yang baru saja didengar. "Bibi tidak memaksamu. Masa depanmu masih panjang."
"Masa depanku sudah rusak. Hancur tak bersisa sejak aku kehilangan dia," sahut Stacy sedih.
Drew segera merengkuh punggung mungil yang bergetar. "Jangan diingat lagi. Dia sudah bahagia dia pangkuan Tuhan. Kau juga berhak bahagia."
Kepala Stacy menggeleng, menarik bibirnya ke atas membentuk senyuman begitu rengkuhannya terlepas. "Masa depanku hanya di panti ini. Bersama orang-orang yang selalu menyayangiku tanpa syarat. Aku bersedia menjadi perantara kebahagian semua orang di sini. Selagi aku bisa, kenapa tidak? Perasaan bukan hal utama. Yang terpenting adalah kalian semua."
"Stacy..."
"Aku bersedia menikah dengannya." kening Stacy mengernyit memikirkan sesuatu. "Tapi ... apa pria itu mau menerima keadaanku yang --"
"Beliau tidak mempermasalahkan hal itu. Asal kau bersedia, tidak akan banyak menuntut," sela Bibi Drew cepat.
Ada yang aneh menurut Stacy. Bagaimana bisa pria itu tidak menuntut banyak darinya tapi kenapa begitu pemaksa menjadikan tumbal dirinya.
"Hem, boleh kutahu kenapa dia mengajukan hal itu sedangkan di luar sana banyak sekali wanita yang rela menjadi istrinya?" tanya Stacy penasaran.
"Sebenarnya pemerataan lahan ini adalah usulan dari sang nenek. Wanita itu memaksanya untuk segera menikah. Tapi beliau masih belum menemukan seseorang yang tepat. Sedangkan jika sampai asal memilih pasangan dia tidak mau menambah rentetan urusan. Saat datang melihat keadaan panti kau sedang sibuk membagikan makan pada para orangtua. Dia melihatmu. Entah kenapa langsung memintaku agar kau dijadikan istrinya. Dan ... alasan bertahannya gedung ini dijadikan penawaran persetujuanmu," terang Bibi Drew panjang lebar.
Kedengarannya memang di luar logika. Mana mungkin seorang pria berlevel tinggi menawarkan diri menjadi pendamping hidupnya. Ralat, mungkin hanya sebagai tameng dari permintaan sang nenek.
"Sebenarnya agak aneh. Aku masih tak habis pikir kenapa bisa orang seperti dia ..." Stacy tak bisa melanjutkan kalimatnya.
"Aku hanya diminta memberitahukan padamu. Untuk lebih jelas dan berbagai macam pertanyaan yang kau pikirkan boleh kau utarakan padanya."
"Boleh kutahu namanya?"
"Jika kau setuju, beliau akan langsung memperkenalkan diri secara pribadi."
"Baik, Bi. Aku mengerti. Kapan kami bisa bertemu?"
Mata Bibi Drew menuju kalender yang terpasang di dinding. "Minggu ini. Masih ada tiga hari untuk kau memikirkan lebih yakin lagi." Drew mengusap lembut bahu kanan Stacy. "Oya, ada satu hal penting yang harus kau tahu. Dia mengalami amnesia sejak sepuluh tahun yang lalu. Kau jangan sampai menanyakan hal yang di luar jangkauan memori ingatannya."
"Amnesia?" Stacy membeo.
"Ya. Penyebabnya apa? Dia tampak enggan memberitahu. Tapi yang kutahu dia pernah mengalami kecelakan hebat. Mungkin nanti kau bisa mengetahuinya perlahan-lahan. Sekarang, lebih baik kau tidur. Good night, My Sweety," ucap Drew mengecup pelipis Stacy sebelum berlalu.
***
.
.
.
.
.*Rabu, 05 Agustus 2020
EL alice
KAMU SEDANG MEMBACA
Unlimited Love
Short StoryStacy Zamora mau tak mau menangguhkan hidupnya demi kelangsungan panti jompo yang penuh suka duka selama sepuluh tahun menjadi tempatnya bernaung. Stacy harus mempertahankan bangunan tersebut dari keserakahan pria arogan yang ternyata adalah masa la...