UL ~ C

3K 387 22
                                    

Tatapan ramah yang dilayangkan Armando tidak berbalas. Kedua manik cokelat Stacy menatap tajam padanya. Bahkan Armando melihat jelas jemari tangan Stacy terkepal erat melampiaskan sesuatu yang tertahan.

"Melihat caramu menatapku sepertinya kau mengenalku," celetuk Armando membuat Stacy gelagapan.

"Tidak! Aku tidak mengenalmu! Aku hanya ... hanya ..."

Satu alis tebal Armando terangkat mengintimidasi agar Stacy memberi jawaban pasti.

"Wajar aku terkejut. Wajahmu sudah tak asing beredar di majalah bisnis, bukan?" kilahnya menatap berani pada manik biru yang tampak terkejut.

"Uh, ya. Kau benar. Aku begitu popular jadi siapa saja mudah mengenaliku. Tanpa terkecuali kau juga. Meski hanya seorang pegawai toko roti biasa yang tinggal di panti," balas Armando mencibir.

Stacy mengurai kegugupan. Pria di depannya sepertinya telah banyak berubah. Namun satu hal yang masih melekat dalam dirinya, kepercayaan diri yang tinggi dan cenderung sombong masih menjadi ciri khasnya.

"Kau sudah tahu aku hanya orang biasa. Kenapa malah memaksaku menjadi istrimu?"

"Ralat. Bukan memaksa. Tapi memberikan penawaran padamu. Kau bebas mengambil keputusan, aku bukan pemaksa. Apalagi penindas," sangkal Armando tegas.

"Apa bedanya jika nyatanya ada ancaman atas peruntuhan bangunan ini jika aku menolak?" hardik Stacy tak mau kalah.

"Hei, Miss, santai. Kau emosi sekali. Seperti punya dendam kesumat saja denganku."

Wajah Stacy berubah lunak. Mengembuskan napas kasar lalu memasang senyum terpaksa. "Maaf. Jika mengenai tentang panti, emosiku tak bisa ditahan. Mr. Thompson kau belum menjawab pertanyaanku. Sebelum menyetujui aku ingin kau menjelaskan maksud utama tujuanmu kita menikah. Please."

Armando menatap Stacy yang mulai pasrah. Mencoba membaca isi kepala wanita cantik di depannya.

"Aku hanya ingin menghindari ocehan nenekku mengenai pernikahan dengan perjodohan yang memuakkan. Kebetulan saat aku datang melihat kondisi panti yang ingin diruntuhkan aku melihatmu. Kau tampak sempurna di mata orangtua penghuni panti jompo ini. Jadi aku merasa kau wanita yang cocok mengambil hati nenekku agar direstui. Percayalah, aku sudah beberapa kali membawa partner ranjangku ..."

Tanpa sadar Stacy mundur hingga punggungnya membentur sebuah vas yang ada buffet.

"Kau baik-baik saja?" tanya Armando cemas.

"Ya. Ten-tu saja," jawab Stacy gugup.

"Boleh kulanjutkan?"

"Silakan." Stacy bersedekap.

"Aku sudah sering membawa partner ranjangku ke hadapan nenek tapi tak ada satu pun yang direstui olehnya. Padahal kalau setuju aku bisa leluasa karena wanita-wanita itu hanya kunikahi bersyarat. Sialnya, nenekku sudah membaca lebih dulu rencanaku," lanjutnya panjang dan jelas.

Sampai di sini Stacy mengerti. Sepertinya sang nenek yang dimaksud sangatlah memegang prinsip pernikahan hal yang sakral. Makanya pria ini harus memilih wanita yang tepat untuk menjadi istri cucunya.

"Tapi aku bukan wanita baik. Kau salah menilaiku," ucap Stacy pelan.

"Yang kulihat kau wanita baik. Semua orang di sini menyukaimu."

Stacy mengangkat wajahnya memberanikan menatap manik biru yang menyejukan.

"Kau wanita baik. Aku yakin itu. Matamu yang menunjukannya," puji Armando tulus bersamaan senyum yang makin memperlihatkan ketampanannya.

Kepala Stacy merunduk menghindari kontak mata yang bisa membuatnya luluh akan kebencian. "Aku bukan perawan," bisiknya lirih.
.
.
.

Cerita sudah lengkap di aplikasi Karyakarsa

🇲🇨 Senin, 17 Agustus 2020 🇲🇨     EL alice

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🇲🇨 Senin, 17 Agustus 2020 🇲🇨
     EL alice

Unlimited Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang