✨Happy Reading✨
Tahu, kenapa manusia tidak berhak menghakimi? Sebab Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah menyediakan hari pengadilan di hari akhir untuk hambanya.
Tahu, kenapa manusia tidak berhak membandingkan-bandingkan masalah hidupnya dengan kenikmatan yang orang lain miliki? Sebab Allah Subhanahu Wa Ta'ala juga sudah mengatur kebahagiaan untuk dirinya juga. Bedanya, dua fase itu tak datang secara bersamaan, melainkan bergantian.
Bayangkan betapa baiknya Allah mengatur kehidupan seluruh hambanya. Manusia, mengantuk urusan dirinya sendiri saja tidak bisa, tapi lebih banyak mengatur urusan hidup orang lain.
Awalnya Kenzi ingin menghakimi orang tuanya pergi meninggalkan ia begitu saja, namun bila di pikirkan, tahu apa ia tentang penderitaan bapaknya selama ini? Beban mana yang bisa ia bandingkan dari rasa sakit yang mungkin selama ini bapaknya rasakan? Bunuh diri memang bukan cara terbaik menyelesaikan masalah, bahkan Allah melarang perbuatan tersebut.
Bukan bunuh diri saja yang di larang, mengagankan-angankan kematian saja tidak di perkenankan. Dalam hadist riwayat Bukhari dan Muslim pun menyebutkan, janganlah sekali-kali salah seorang dari kalian mengagankan-angankan kematian. Karena ada kesusahan yang menimpa. Salahnya, manusia masih sering mengagankan kematian adalah hal sepele, pelarian dari masalah, padahal Allah bisa membantu mengeluarkan dari masalah jika manusianya mau bersabar.
“Tituttt....titutt...titutt....pasukan cogan datang....” dengan lantang suara milik Gunawan yang mengalahkan sirine pemadam kebakaran itu memecah lapangan indoor sekolah. John, datang menyusul kesana di ikuti Dimas, dan Kenzi yang sudah berganti kaos olahraga.
Pertandingan basket akan di laksanakan minggu besok. Waktu pelaksanaan Ujian Nasional pun semakin dekat. Mereka harus segera menuntaskan permainan sebelum melakukan bimbel nanti.
“Kenzi, kamu masuk tim inti untuk pertandingan besok.” Pak Robi, selaku pelatih basket khusus memberi pengumuman. Sontak membuat anak-anak lain bertanya-tanya.
Sekalipun terkejut, entah bagaimana bisa Kenzi tetap memasang ekspresi wajah datar, lalu bertanya. “Tiba-tiba pak?”
Pak Robi menganggukkan kepala, “Yuda nggak bisa ikut pertandingan, kakinya cedera parah karena kecelakaan sepeda motor. Jadi bapak mau kamu masuk tim inti, bukan pengganti lagi.”
Dimas turut bahagia, menepuk bahu laki-laki itu memberikan selamat. Dimas mengalihkan pandangan mendapati seorang wanita baru saja masuk ke lapangan indoor menjatuhkan tubuh di salah satu kursi. Dia Kanya, gadis itu membawa novel di atas pangkuannya, dengan earphone merah muda yang terpasang di balik jilbabnya.
Aneh juga, selama Kanya sekolah. Dimas belum pernah melihat gadis itu turut hadir pada kegiatan olahraga dan upacara bendera, sebab itu juga Dimas baru tahu ada anak baru bernama Kanya dari kelas IPA. Dan hari ini, harusnya mereka melaksanakan olahraga lari jarak pendek di lapangan outdoor tapi Kanya justru ada di sana sibuk membaca novel.
“Semuanya silakan lakukan pemanasan.” intrupsi Pak Robi.
Dimas masih saja tak melepaskan pandangannya, “Anya cantik ya Ken...salut gue sama lo.” ungkap Dimas.
Kenzi menautkan alisnya. “Hubungannya sama gue apa?” ia bertanya balik, memang tak mengerti maksud dari Dimas menyangkut pautkan ia dan Kanya.
“Nggak usah pura-pura nggak tau lah, udah jelas dia ngejar-ngejar Lo terus.”
“Dan gue nggak minta dia lakuin itu,”
“Btw, kalian lama-lama kenapa gue perhatiin mirip ya.” Dimas tertawa di akhir.
Kenzi berhenti melakukan pemanasan otot tangan, ia berkecak pinggang menatap Dimas kesal. “Makin nggak sehat Lo, Dim.” balasnya sinis.
Di tempatnya Kanya menengadahkan kepala, beralih sejenak dari dunia imajinasi novel yang dua hari lalu baru ia beli ke dunia nyata. Di lapangan, Kenzi sedang melakukan dribble suara pantulan bola basket beradu menimbulkan suara cukup keras. Beruntung hari ini Kanya memilih lapangan indoor sebagai tempatnya rehat.
Kanya memang tak pernah mengikuti jadwal pelajaran olahraga dan upacara bendera. Sejak kecil, gadis itu menderita lemah jantung. Sedikit saja merasa lelah, dia harus lari pada obat-obatan. Membosankan, tapi bersyukur Allah masih memberi kesempatan untuknya hidup sampai detik ini.
Dulu, Kanya selalu beranggapan. Bahwa setiap embusan napasnya di bumi, adalah beban untuk sang ibu. Tetapi Kanya salah besar, setiap embusan napasnya justru memberikan kehidupan untuk ibunya.
Dilarikan ke rumah sakit, adalah kabar yang tak asing lagi untuk ibunya dengar. Karena itu Kanya memutuskan pindah ke sekolah yang sama tempat ibunya bekerja, agar tidak membuat wanita paruh baya itu mengkhawatirkan keadaanya lagi setiap detik.
“Semanga Ken...” lirih gadis itu yang sedari tadi mengawasi Kenzi, lalu kembali fokus pada dunia imajinasinya.
••••••
Kanya menarik napas dalam-dalam berulang kali. Jarum pendek jam dinding menunjukkan tepat pukul delapan malam, sejak pulang sekolah ia belum bisa melaporkan apa pun tentang hari ini pada Liza--Ibunya. Biasanya Kanya langsung melaporkan bila sedikit saja tugasnya mengalami kegagalan.
Sang ibu di ruang tamu tersenyum mendapati Kanya duduk di sebelahnya, dimana ibunya sedang menyelesaikan laporan keuangan sekolah untuk acara perpisahan setelah anak-anak kelas dua belas menyelesaikan ujian akhir mereka.
“Ibu...aku capek,” Kanya merebahkan tubuhnya di atas sofa, meletakan kepala di atas pangkuan bidadari yang selama hampir separuh hidupnya itu mengurus Kanya.
Kertas di tangan Liza disimpan, ia mulai membelai pucuk kepala putrinya penuh kasih sayang dan juga cinta seorang ibu.
“Ada yang sakit?” tanyanya.
“Hati Anya yang sakit Ibu,” keluh gadis itu terus terang, ia memejamkan mata sebentar.
“Kenapa harus Anya yang tau ini semua? Anya juga capek tanggung ini sendirian Ibu....”
Liza menghela napas berat, matanya mulai berembun mendengar rasa sakit putrinya. Ia sendiri bingung harus mengatakan ini dari mana, bukan ia saja yang terluka. Anaknya pun akan terluka jauh lebih sakit darinya.
“Ibu tau, ibu minta maaf...harusnya Ibu nggak lakuin ini semua dulu.” balas Liza, air matanya pun tumpah ruah membasahi pipi.
Kanya menggenggam tangan ibunya, ia mengusap-usap lembut punggung tangan yang semakin hari semakin menua itu.
“Ibu nggak perlu minta maaf, Anya tau ibu juga dulu pasti berusaha mempertahankan pernikahan ibu.”
“Tapi kalian yang menjadi korbannya,”
“Orang tua pasti pernah melakukan kesalahan, pertama kali Anya tau ini semua Anya juga marah, Anya kecewa, kenapa selama ini ibu menutupinya. Dan Anya nggak punya alasan untuk benci ibu karena kesalahan itu, sedangkan ibu jauh lebih banyak memaafkan kesalahan Anya dari kecil.”
Kanya bangun dari posisi tidurnya, ia mengusap air mata di pipi ibunya sambil tersenyum menyakinkan bahwa ia sudah baik-baik saja kini. “Ibu jangan nangis lagi, Anya bakal terus usaha buat deketin kakak...” ucapnya penuh keyakinan.
Liza tersenyum dalam tangisnya.
“Ibu percaya pada kamu, kita semua pasti bisa berkumpul bersama. Kamu dan kakak kamu memang seharusnya tidak pernah di pisahkan.”
“Tunggu Anya ya Ibu...”
—Bersambung—
Maaf alurnya kalau membosankan.
See you next chapter temen-temen semua.
Jangan lupa tinggalkan vote dan comentnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/231794245-288-k839561.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Apa Aku Salah?
EspiritualKesalahan, siapa yang tidak pernah melakukan kesalahan di dunia ini? Orang suci sekalipun pasti pernah melakukan kesalahan. Kehilangan, kalian tau bagaimana rasanya di tinggalkan? Berjumpa pada sebuah perpisahan yang tak pernah berujung pertemuan l...