2. La Luna

931 95 42
                                    

Alamak! Lupa kalo dia anak alim.

Hmmpft! Salaman aja ngga mau. Heran, deh, Mama seneng banget ngejodohin sama anak alim kaya gini. Bikin jadi ngerasa paling berdosa sedunia. Hhh!

Mau langsung masuk March-nya Dirga aja, tapi pinggangku malah ditahan sama dia. Terpaksa, deh, pasang senyum manis sambil dadah-dadah sama anak alim rekomendasi Mama.

"Gila! Bawaannya Mercy," komentar Dirga takjub, mengekor kepergian Akbar dengan tatapan mata.

"Emang kenapa?" balasku malas, langsung masuk ke mobil Dirga.

Dia juga ikut masuk dan duduk di belakang setir. Sambil memasang sabuk pengaman, mulutnya masih melanjutkan komentar, "Ya, tajir banget gitu, masih mau ngotorin tangan bantuin gantiin ban."

"Itu, sih, kamunya aja yang lemah."

Dia tertawa kecil, melepas sabuk pengaman, lalu menjangkau tengkukku dengan tangannya. "Mau ngerasain kekuatanku?"

Hahaha! Dasar cowok. Baru gitu aja udah terbakar.

Kutahan dengan telunjuk, bibirnya yang hendak pamer kekuatan. Dia malah menggenggam pergelangan tanganku dan menjilat ujung telunjukku. "Hm, gurih. Abis makan apa?"

"Kentang goreng," jawabku, berusaha menarik tangan dari genggamannya.

Tapi, dia malah makin kuat menahan dan memasukkan seluruh telunjukku ke dalam mulutnya.

"Aw!" Kutarik keras telunjuk dari mulutnya. "Ntar kalo keliatan orang gimana?"

Dia terkekeh melepaskan genggaman tangan dari pergelanganku. "Dalem mobil gini, siapa yang mau ngeliatin?" ujarnya, kembali memasang sabuk pengaman.

Aku pun ikut memasang sabuk pengaman. "Ya kali aja. Ini, kan family cafe. Kalo ada wali murid yang liat, bisa dipecat aku."

Dia tersenyum masam, membuat tak enak hati.

"Jangan marah, dong, Yang," bujukku, mengelus tengkuknya.

Dia mendengkus. "Kalo kita nikah, ngga perlu lagi sembunyi-sembunyi kaya gini."

Gggrr! Dia ngangkat topik itu lagi. Males banget!

"Tapi kamu ngga mau, kan? Malah mau nikah sama CEO itu, siapa namanya?"

Ups! Untung dia ngga inget nama cowok alim itu. Gimana jadinya kalo dia inget namanya Akbar?

"Gimana? Jadi ketemuan tadi?" tanyanya masih dengan nada kesal, tapi yang kutangkap jelas sebenarnya adalah cemburu. Yes! Dia ngegemesin banget kalo lagi jealous kaya gini.

"Yeah."

"Trus?" Kan? Makin ngegemesin, kan?

"Dia sepakat tanpa banyak berdebat."

"Hm." Ada kelegaan di wajahnya dan itu bikin dia jadi makin ngegemesin berkali-kali lipat.

Kuberi satu kecupan singkat di pipinya. Dirga melirik lalu berkata dengan nada merajuk, "Cuma di pipi?"

Hahaha, ada yang udah ngga sabar ternyata. Kusentuh bibirnya lembut. "Yang sabar, ya."

Dia membuka mulut hendak menangkap jari di bibirnya, tapi gerakanku lebih cepat.

Nada dering dari ponsel di dalam tas menginterupsi kebersamaan kami. Pesan dari CEO Alim, "Besok jadi?"

Hhh! Kenapa masih nanya? Kujawab singkat, "Jadi."

"Oke, kamu yang putuskan," balasnya singkat.

Jelas aku mengernyit dibuatnya. "Maksudnya?"

Balada Cinta ShaBarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang