9. Mantan Terindah

632 95 31
                                    

Dia menangis seperti anak kecil. Terisak-isak, sesenggukan di lenganku. Tak mungkin tangisan sehebat itu hanya karena film kartun konyol.

Pasti karena membiarkan kekasihnya pergi. Bodoh sekali. Jika memang sangat mencintai Dirga, mengapa tidak memperjuangkannya?

Suara dehaman Pak Ali mengalihkan perhatian. Entah sudah berapa lama dia berdiri di situ. "Klethikan buat Mbak Naila dan teman-teman sudah habis, Pak," lapornya.

Kuanggukkan kepala menerima laporan singkat itu. "Kita bikin stik ubi pakai ubi ungu yang kemarin," tukasku.

"Baik, Pak." Dengan cekatan, ia mengambil ubi ungu dari kulkas dan mulai mengupasnya.

"Aku masak dulu," kataku pada Alisha yang mulai menonton episode kedua, "kamu tidak apa-apa?"

Dia menoleh seketika. Matanya membulat, terkejut. Kenapa? Apa ada yang salah dari kata-kataku? "Tak apa-apa kutinggal?" tanyaku lagi.

Dia seperti baru teringat sesuatu. Kemudian mengangguk seolah sedang di bawah pengaruh hipnotis.

Kutinggalkan ia di depan laptop untuk beranjak ke kamar mandi. Lengan double breasted coat-ku seperti baru saja direndam dalam airmata. Kulepas baju khusus para chef ini agar dapat dikeringkan dengan mudah. Bahannya yang tebal memang didesain agar tak gampang basah saat terkena cipratan benda cair. Namun, jika diguyur habis-habisan dengan air mata, tetap saja jadi tak enak dipakai.

Sesuatu yang lengket menarik perhatian. Astaghfirullah. Ingus.

Hhh, urusan pengeringan pun berubah jadi pembersihan. Seenaknya saja dia menyapukan ingus di lengan coat. Pantas juga ada warna kekuningan di sini, mungkin dari bedak. Harusnya aku minta kompensasi, tapi biarlah, anggap saja sedekah.

Di bawah mesin pengering tangan, kukeringkan bagian lengan yang sudah bersih dari ingus dan rona bedak. Pasti akan membutuhkan waktu lebih lama karena baru saja diguyur dengan banyak sekali air.

Tiba-tiba pintu terkuak.

Ya, Allah! Bagaimana mungkin aku lupa mengunci pintu?

Alisha muncul dengan wajah membeku. Mulutnya sedikit membuka seperti hendak bicara tapi kehilangan kata-kata.

Suasana canggung menyergap seketika. Aku terpojok. Secara harfiah benar-benar berada di pojok kamar mandi ini. Mau keluar, ragu. Setengah baju telanjur basah diguyur air, mana mungkin keluar dalam keadaan telanjang dada begini?

Sedangkan Alisha, berdiri membeku selangkah dari pintu. "Mau ke toilet?" sapaku, berusaha membuyarkan aura canggung di sini.

Alisha tak menjawab, matanya melirik kloset duduk di belakangku. "Ehem, ngga. Aku cuma mau cuci muka," katanya, beranjak ke wastafel.

Diraupnya air dari keran lalu mencuci muka dengan cekatan. Wajahnya terlihat segar tanpa make up begini. Menurutku, juga lebih cantik.

Tatapan kami bersirobok di pantulan cermin. Kualihkan fokus pada lengan coat yang hampir kering.

"Sorry, udah bikin bajumu basah," ujarnya terkesan hati-hati.

Sorry, katanya? Aku tak yakin dia benar-benar menyesal. "Kalau membiarkannya pergi membuatmu menangis begitu keras, mengapa tidak melangkah bersamanya?"

Alisha menghela napas. Diusapnya lagi sisa-sisa air di wajah. "Ngga ada gunanya," ujarnya lirih, kemudian menatap sendu pada cermin, "dia udah nikah."

"Lalu?" Aku tak mengerti. Apa salahnya?

"Lalu?" Dia menoleh padaku. "Aku ngga mungkin ngerebut suami orang, kan?" balasnya agak kesal.

"Kamu ngga perlu merebut kalau bisa berbagi."

Balada Cinta ShaBarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang