5. Di Seberang

665 82 32
                                    

Akhirnya disepakati bahwa pembicaraan mengenai hari pernikahan ditunda hingga ada kejelasan mengenai ayah Alisha. Kulirik wajahnya, tak lagi setegang tadi. 

Ck! Lihat saja, bagaimana dia memanfaatkan kesempatan ini.

Kuputuskan untuk mengantar mereka pulang sekaligus mengambil buku nikah milik Tante Santi. Om Karim beserta keluarga telah  lebih dulu bertolak karena harus menghadiri pesta pernikahan koleganya.

Baru saja keluar dari kafe, sebuah mobil March merah masuk area parkir. Kulihat Alisha tertegun, dia pasti mengenali mobil itu.

"Ayo, pulang," ajakku, tapi dia bergeming.

Seorang anak lelaki kecil keluar sambil berlari. "Bu Guru!" serunya menyongsong Alisha.

"Baruna?" balas Alisha, nyaris tak terdengar.

Kukira nama yang kudengar tadi adalah Lintang. Kenapa jadi Baruna?

"Kamu ngapain ke sini?" tanya Alisha lagi, berjongkok hingga tingginya sama dengan anak kecil itu.

"Mau puding!" seru anak lelaki itu semringah. Dengan gembira ia berlari menuju kafe.

Dirga keluar setelah selesai memarkir mobil. Wajahnya memperlihatkan keheranan tingkat tinggi begitu melihatku di samping Alisha. Dia pasti tak diberitahu apa-apa mengenai ta'aruf hari ini.

Kulirik Alisha yang menatap gelisah. Huh! Biar saja dia lihat konsekuensi keputusan bodoh ini.

Kusodorkan tangan untuk bersalaman dengan Dirga. "Assalamu'alaikum, ketemu lagi, Pak Dirga."

Dia berusaha santai menyambut uluran tanganku. Namun rasa canggung itu tak bisa ditutupi. "Wa'alaikumsalam, Mas Akbar, kan?" balasnya.

Aku mengangguk, sedikit meremas tangannya. "Ya, Akbar, calon suami Alisha."

Sekilas, kulihat Alisha terkejut. Dirga malah lebih parah, mukanya terlihat memucat.

"Yah, tutup!" seru Baruna yang telah berada di depan pintu kafe. Wajah berpipi tembam itu langsung berubah manyun.

Kualihkan pandangan pada Pak Ali. Tanpa perlu penjelasan apa pun, Manajer La Luna itu sudah paham apa yang harus dilakukan. Dengan setengah bertongat lutut, ia bicara pada Baruna, "Mau puding?"

Anak itu mengangguk perlahan.

"Rasanya, saya masih nyimpen di kulkas. Mau?" lanjut Pak Ali lembut.

Wajah muram itu segera berubah cerah. "Mau! Mau!" serunya antusias, kemudian berlari kembali pada Alisha, "Bu Guru, ayo kita makan puding!"

"Bu Guru mau pulang," potongku cepat.

Air muka anak itu langsung berubah. Alisha melempar tatapan kesal padaku. Memangnya aku salah apa?

Gadis itu berjongkok lagi di depan Baruna. "Ibu pulang dulu, ya. Kapan-kapan kita makan puding sama-sama," katanya disertai senyuman.

"Bungkusin aja buat Bu Guru, ya?" pinta anak kecil itu agak memaksa.

Alisha tersenyum. "Boleh. Makasih, ya."  Kemudian mereka berbasa-basi, yang menurutku kelamaan, sebelum berpamitan.

***

"Bisa, ngga, sih, ngomong manis dikit? Sama anak kecil, gitu, loh," gerutu Alisha sambil memasang sabuk pengaman.

Kumundurkan mobil untuk masuk ke jalan raya yang ramai.

"Heh, kamu denger, ngga?" lanjutnya masih dengan nada kesal. 

"Hm? Ngomong sama aku?"

"What?" suaranya mulai meninggi, "kamu pikir aku ngomong sama dashboard?"

Balada Cinta ShaBarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang