Pas balik lagi, ternyata udah rame aja. Meja yang tadi cuma diisi Mama doang, sekarang tinggal satu kursi yang kosong.
Dua laki-laki duduk di ujung-ujung meja. Satunya udah kukenal, Akbar. Satu lagi kayanya lebih tua, jenggotan dan kacamataan. Mungkin bapaknya?
Eh, tapi ngga mungkin. Di resume dibilang kalo bapaknya udah meninggal waktu dia kelas 3 SMP. Jadi siapa?
Perempuan berkerudung lebar di samping laki-laki jenggotan itu langsung berdiri begitu ngeliat aku. "Alisha, ya?" sambutnya semringah, "pantesan Akbar ngga nolak."
Kehangatannya bikin aku terpaku. Serius, kirain semua keluarganya juga dari kutub selatan kaya dia. Gadis manis berkerudung merah marun di samping perempuan itu juga ikut berdiri, nyodorin tangan dengan senyum mengembang. "Hai, Kak Alisha. Salam kenal, ya. Aku Naila, sepupu kesayangan Bang Akbar."
"Hai, Naila. Salam kenal." Aku tersenyum, berusaha secepat mungkin beradaptasi dengan keluarga hangat ini. Kulirik Akbar, trus nyesel. Muka es baloknya menghancurkan kehangatan yang barusan dibangun. Hmmpft!
"Ayo, duduk," ajak perempuan berkerudung lebar tadi. Kuanggukkan kepala dan duduk di satu-satunya kursi yang masih kosong, tepat berada di sisi kiri Akbar.
"Saya Hana, tantenya Akbar. Kamu boleh panggil saya Ammah Hana. Akbar juga manggil gitu," perempuan itu memperkenalkan diri. "Ini Om Karim, om-nya Akbar," lanjutnya lagi, menyentuh lengan laki-laki yang duduk di seberang Akbar.
Kayanya bakal asik ada dalam keluarga ini. Senyuman ngga pernah lepas dari bibir mereka. Tiap kali ada yang ngomong, yang lain serius memperhatikan.
"Kak Alisha tau, ngga, sih, hari ini spesial banget, loh," kata Naila dengan mata berbinar kaya anak muridku kalo diajak maen keluar.
"Eh, iya, spesial banget," Ammah Hana nimpalin, "ini pertama kalinya Akbar ngundang kita secara resmi ke sini."
Oh? Kulirik Akbar yang tetep aja minus ekspresi.
"Dan pertama kali juga Bang Akbar akhirnya beneran ta'aruf," Naila menambahkan disertai kikik halus.
Ammah Hana menimpali di sela tawa ringan, "Biasanya resume yang Ammah kasih cuma numpuk aja di meja, trus tau-tau udah ada di tempat sampah."
Akbar tampak tak peduli. Dia lurus-lurus natap Om Karim dan nanya, "Kita udah siap dengan makanan pembuka?"
"Yak, ayo mulai. Udah waktunya makan siang, nih," balas Om Karim.
Akbar mengangkat tangannya, ngasih kode ke laki-laki di depan pintu putih tak jauh dari meja kita. Laki-laki berompi hitam dengan apron di pinggang itu ngangguk, lalu masuk ke ruangan di balik pintu. Keluar-keluar udah ngedorong troli berisi mangkuk-mangkuk.
Satu per satu mangkuk itu dibagikan. "Hoa! Pink!" seru Naila begitu ngeliat isi mangkuknya. "Apaan ini, Bang?" tanyanya penuh rasa ingin tahu.
"Saltibarsciai," Akbar ngejawab pake bahasa planet.
"Ha?" Kayanya semua sama ternganganya denganku.
"Sop beetroot," jelas Akbar dalam bahasa yang lebih gampang.
"Oh, makanya warnanya pink, ya?" sahut Mama semringah. Ya, ampun, ternyata mereka berdua cocok banget, sama-sama suka makanan. Kayanya mending Si Akbar sama Mama aja, deh, daripada sama aku.
"Hmm, seger juga. Ada asem-asemnya gitu, ya?" komentar Ammah Hana.
Kucicipi sup di mangkuk. Asam dan manis menyatu harmonis, mengingatkan pada sesuatu.
"Ehem, asem manis, apa ini rasanya cinta, Bang?" tanya Naila, ngegodain abang sepupunya.
Yang digodain sama sekali ngga ngebales, ngubah ekspresi aja ngga. "Ini rasanya kefir dicampur beetroot," balasnya serius.
KAMU SEDANG MEMBACA
Balada Cinta ShaBar
RomanceRank #7 dari 4.7K cerita [Kehilangan] 16.09.2020 Rank #4 dari 447 cerita [Terpaksa] 09.09.2020 "Jika ada yang mengisi hatiku, dia pasti mati." -Akbar- "Aku tak akan mati, karena aku selalu hidup di hatimu." -Alisha-