Ranting di dahan itu patah lagi. Sudah ketiga kalinya, ranting dari dahan yang sama patah berturut-turut. Aku sudah tidak begitu kaget. Hanya saja, kali ini ada gadis di dekat pohon yang hanya ada daunnya itu. Gadis itu tepatnya berdiri di sebelah pohon kamboja. Sepertinya, ia tidak menyadari apa yang terjadi.
"Hei! Hati-hati! Ada ranting patah!" Aku refleks teriak untuk memberinya peringatan.
Gadis itu terlonjak dan menoleh ke arahku. Lalu melihat ke atas. Matanya membulat dan bola matanya membesar. Untung saja, ranting itu jatuh tepat di depannya—gadis itu tidak kena sama sekali.
"Te-terima kasih ...." Dia berucap lirih.
Sekarang aku sadar, gadis itu memegang banyak mahkota bunga yang ia petik di taman ini. Bunga-bunga di taman ini memang lumayan banyak dan semuanya indah—kekurangannya adalah bunga di sini tidak harum dan bisa dibilang tidak memiliki bau tertentu. Aku sudah mencoba mencium bau-bau dari bunga-bunga yang ada.
Gadis itu memetik banyak bunga kamboja—satu-satunya bunga harum yang ada di sini. Sekarang hanya tersisa satu pohon bunga kamboja. Dulu ada tiga, tapi ditebang (aku ada di taman ini saat pohon-pohon bunga kamboja itu ditebang).
Ia berbalik dan kembali memetik bunga. Karena situasi sudah aman, aku memilih melanjutkan buku yang kubaca. Hari ini aku membaca Nature. Sebuah buku esai (yang menurutku sangat puitis) yang ditulis oleh Ralph Waldo Emerson. Aku baru mulai membacanya ketika sampai di taman ini.
Sebuah tempat yang dipenuhi tanaman dan menyejukkan mata adalah tempat terbaik untuk membaca buku. Aku sendiri selalu ke taman ini saat membaca buku—hari ini juga begitu. Buku yang sedang kubaca (Nature) sangat-sangat puitis.
But if a man would be alone, let him look at the stars.
Waktu akan terasa hilang sejenak saat seseorang membaca buku yang bagus. Aku pun begitu. Jemari-jemariku dengan tak sabarnya membuka halaman selanjutnya karena penasaran apa yang akan ada di sana. Bagian kesukaanku dari Nature adalah bagaimana alam ditulis menggunakan kata ganti dia (perempuan) dan manusia ditulis menggunakan kata ganti dia (laki-laki). Itu seperti menunjukkan bahwa alam adalah sesuatu yang elegan, patut dijaga, dan memberi kehidupan kepada anak-anaknya. Juga berlaku untuk kita manusia yang digambarkan sebagai pelindung alam dan segala isinya (anak-anaknya)—ingat, manusia ditulis menggunakan kata ganti dia (laki-laki) yang identik dengan identitas seorang pahlawan atau pelindung. Menakjubkan, bukan?
Suara gesekan tangan dan semak-semak melepas konsentrasiku dari buku. Gadis itu menggesekkan tangannya dengan semak-semak dan menghasilkan suara yang cukup bising—mengingat aku yang terbiasa sendirian di taman ini.
Bunga yang mekar di pohon bunga kamboja itu habis dipetiknya. Hanya kuncup-kuncup yang tersisa. Kenapa dia memetik bunga-bunga itu?
Gadis itu menoleh ke arahku sebentar. Tunggu, jangan melihat ke arahku! Rasanya aneh. Tunggu, hei, dia tersenyum kepadaku! Apa-apaan itu?
Bunga-bunga di genggamannya ia hamburkan di sepanjang jalan perjalanannya. Lalu untuk apa dia memetik bunga-bunga itu? Untuk dia hamburkan? Tidakkah itu sedikit kekanakan? Jadi, sebenarnya kenapa dia memetik bunga-bunga itu? Aku ingin berteriak memanggilnya, tapi suaraku seperti tercekat di leher.
"Tunggu!" Terlambat sudah, gadis itu pergi jauh—tidak terlihat lagi.
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis dan Bunga
Fanfic[1/3] Gadis itu akan memetik bunga kamboja sepanjang hari, lalu menaburnya sepanjang jalan. © 2020 Rag Manaras Satyaputikeswara. Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.