3. Taman Buatan si Gadis dan Bunga yang Bermekaran

47 9 80
                                    

Lima bulan dan empat hari sudah berlalu semenjak aku menyuruh Kinnas untuk menanam bunga sendiri. Iya, aku menghitungnya. Ia tak pernah datang lagi setelah itu. Apakah aku sempat salah bicara? Dia tersinggung? Tapi, dari sisi manapun aku tidak menemukan kesalahan dari apa yang sudah kuucapkan. Apa aku yang lupa? Entahlah.

Selama lima bulan ini, aku hanya terus datang ke taman ini dan membaca buku seperti biasanya. Beberapa minggu pertama, rasanya memang sepi. Namun, akhirnya aku terbiasa. Hei, sudah lama aku selalu sendiri dan karena beberapa hari bersama Kinnas aku jadi terbiasa dengannya? Aku sendiri menganggap diriku cukup aneh .... Apa yang terjadi?

Hari ini aku membawa buku. Aku membawa The Book Thief karya Markus Zusak. Aku belum mulai membacanya. Buku ini kupinjam dari Ruri yang katanya juga meminjam buku ini dari adik sepupunya. Ruri meminjamnya dengan motif agar ia berkomunikasi dengan gadis pujaan hatinya. Katanya, gadis yang ia suka saat ini sangat suka membaca buku-buku klasik seperti The Book Thief, To Kill a Mockingbird, Pride and Prejudice, hingga Anna Karenina. Namun, saat Ruri membacanya, ia lelah dan ketiduran. Cukup kompleks, tapi begitulah.

Aku menikmati waktuku sendirian di taman ini. Biasanya, taman ini akan ramai di hari Minggu. Hari ini, hari Jumat. Sekitar pukul empat sore, mungkin? Aku tidak membawa gawai apa pun soalnya.

The Book Thief terlalu menyakitkan. Warna? Naratornya siapa? Tanpa kusadari, aku menangis sesaat setelah membaca bagian The Eclipse. Ini terlalu menyakitkan—kuulangi sekali lagi.

"Kama!" Seseorang memanggilku.

Siapa? Tunggu, aku seperti mengenal suaranya. Tubuhku bergerak sesuai keinginanku, aku berbalik melihat sumber suara itu. Rasanya seperti adegan di film yang diperlambat. Semilir angin terasa jelas, pemandangan yang berubah setiap satu derajat aku berbalik terlihat sangat jelas.

Yang memanggilku adalah Kinnas.

Sosoknya disinari matahari dan tengah tersenyum menatapku. Ia menggunakan celana training hitam berlis putih polos. Atasannya berupa baju kaus polos berwarna putih yang cukup tebal. Sandal jepit ia gunakan di kaki bersihnya. Semuanya kulihat jelas. Kinnas sangat cantik.

Aku membalas senyumnya dan berjalan ke arahnya usai menutup bukuku.

"Aku sudah menanam bunga di belakang rumahku! Beberapa jenis bunga sudah mekar dengan indah. Aku sangat senang! Mereka semua mekar setelah kutanam. Sekarang belakang rumahku bersih dari rumput dan dipenuhi bunga!" Kinnas terlihat sangat bahagia. Ia menjelaskan situasi dengan cepat dan menggebu-gebu.

"Benarkah?" tanyaku.

"Uhm! Ayo ikut aku!" ujarnya, lalu berlari. Aku hanya mengikutinya. Tidak jauh. Aku sekarang berdiri di depan rumah sederhana yang berpagar tumbuhan beluntas. Duh, aku jadi ingin minum jamu daun beluntas ....

"Sini!" Ia kembali bersuara.

Ternyata benar. Bagian belakang rumah Kinnas sudah seperti sebuah taman yang dipenuhi bunga-bunga bermekaran. Semuanya berwarna-warni. Ada bunga jam sembilan yang kecil dan tersebar di segala penjuru. Ada bunga melati yang tidak begitu banyak. Oh, ada bunga teratai yang tumbuh di atas kolam kecil!

Tentu saja, bunga kamboja juga tumbuh di tengah-tengah taman. Aku berjalan mendekati pohon bunga kamboja itu. Kinnas mengikutiku.

"Kama, aku sudah menanam tamanku sendiri!"

Lalu aku dan Kinnas tersenyum bersama. Tidak kusangka, melihat Kinnas tersenyum dan bahagia karena taman buatannya (yang ia buat karena saranku) ternyata menimbulkan perasaan yang cukup dalam dan tidak terdefinisi.

Kupetik salah satu bunga yang mekar dengan tangan kiriku. "Kinnas, bunga ini untukmu."

Mungkin, aku juga bahagia?

[]

Gadis dan BungaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang