2. Tidak Ada Bunga yang Mekar

59 11 92
                                    

Sudah satu minggu, gadis itu selalu memetik bunga di sana. Kali ini, ia memakai seragam putih abu-abunya. Dari yang terlihat, dia sedang di tingkat Sekolah Menengah Atas—sama sepertiku.

Hari ini aku datang lebih lambat dari biasanya dan gadis itu datang lebih cepat dari biasanya. Aku tidak tahu kenapa dia datang lebih cepat, tapi aku datang terlambat karena membantu ibu membereskan barang-barang di gudang. Katanya, ia akan membuang yang tidak terpakai sekaligus membersihkan debu-debu yang tertumpuk di dalam gudang. Mau tidak mau, aku hanya membantunya.

Buku tidak ada di genggamanku hari ini. Aku datang dengan tangan kosong. Awalnya, aku tidak ingin datang. Namun, rasanya aneh jika aku alpa datang ke taman ini barang sekali. Mungkin, datang ke sini sudah menjadi kewajiban di dalam kepalaku.

"Kok tidak memetik bunga lagi?" tanyaku. Jantungku berdetak kencang saat bertanya seperti itu, mungkin karena gugup.

"Eh? Anu .... Ti-tidak ada bunga yang mekar ...." Pandanganku spontan mengobservasi keadaan di taman ini. Ternyata benar, tidak ada bunga kamboja yang mekar hari ini. Gadis yang ada di hadapanku ini selalu memetik bunga kamboja. Bunga yang ia ucapkan secara otomatis diinterpretasikan menjadi bunga kamboja oleh otakku.

"Jadi, kenapa tetap di sini? ... eh, tidak tidak! Aku tidak bermaksud mengusir! Eung, hanya bertanya! Iya, hanya bertanya!" Sial, aku mengacaukan situasi.

Gadis itu langsung tertawa dengan volume suara yang kecil. Ya Tuhan, andai orang seperti ini adalah tetanggaku, mungkin aku tidak perlu datang ke taman ini. Sayang sekali, tetanggaku hanyalah Ruri yang cerewet (Ruri itu laki-laki). Tawa gadis di depanku ini sangat manis!

"Hanya ingin. Aku tidak melakukan apa-apa di rumah, ...?"

Dia sepertinya ingin memanggilku denga namaku. Intonasinya yang menjadi naik tetapi dengan suara halus nan kecil itu sangat enak didengar. Apalagi kantung matanya yang agak tebal agak berkerut saat melihat ke arahku. Duh, aku bisa menangis rasanya.

"Kama. Kama Kanigara, panggil saja Kama. Kalau kamu?" tanyaku usai memberitahunya namaku.

"Eung, panggil saja Kinnas. Ki-Kinnas Ratri!"

Ternyata, namanya Kinnas Ratri.

"Kalau begitu, kenapa tidak tanam bunga sendiri di rumah?" Bukannya lebih nyaman seperti ini? Ibuku adalah tipe orang yang suka merawat bunga. Beliau lebih memilih untuk menyimpan uang untuk membeli Anggrek daripada membeli alat rias. Kalau tanam sendiri juga, bisa pilih bunga kesukaan sebanyak mungkin, kan?

"Eh?"

"Iya, tanam sendiri. Kalau tidak ada yang mekar di tempat ini, mungkin di tempatmu akan tetap mekar. Kamu juga tidak perlu datang ke sini," jelasku seadanya.

"Huh?"

"Kenapa?" Aku membulatkan mata, bertanya-tanya kenapa dia masih tetap bingung.

"Tidak. Tidak ada apa-apa. Tidak apa-apa." Kinnas menjawab berulang-ulang.

Dia kenapa?

"Eung, pokoknya, kalau tidak ada yang bisa memuaskan diri kita. Kita bisa membuat sendiri hal yang bisa memuaskan kita! Eh, kalimatku terlalu ribet, ya?"

"Tidak! Uhm, a-anu, terima kasih banyak!" jawabnya.

Lalu aku tersenyum sembari melihat matanya. "Sama-sama!"

[]

Gadis dan BungaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang