1. Asing

45 3 2
                                    


Trisha menghela nafas panjang menatap langit mendung di atas sana. Matanya terlihat sayu dan sendu, kehilangan binarnya, seperti dia kehilangan tujuan dalam hidupnya. Dan langit di atas sana seolah menerangkan bagaimana keadaan hatinya saat ini, atau lebih tepatnya selama satu tahun belakangan ini.

Apakah sekarang Bundanya sedang melihatnya dari atas sana? Sedang memperhatikannya? Tanpa sadar bulir bening mengalir menuruni pipinya saat dia teringat oleh Bundanya. Dan Trisha dengan segera menghapusnya. Dia tidak boleh menangis saat mengingat Bundanya.

Bundanya sudah bahagia di atas sana.
Bundanya sudah tidak merasa kesakitan di atas sana. Meskipun Trisha harus menanggung semua penderitaan dan rasa sepinya sendirian, tidak apa-apa. Dia bisa melaluinya.

Enam bulan. Hanya tinggal enam bulan lagi saja dia harus bertahan. Dan Trisha sedang menguatkan dirinya sendiri untuk menghadapi sisa waktunya enam bulan ke depan.

"Tris?" Trisha menoleh mendengar panggilan itu. Dia bangkit berdiri saat melihat Abi berjalan ke arahnya. "Kamu masih belum pulang ternyata?" tanyanya.

Trisha menyunggingkan seulas senyum dan menggeleng pelan. "Nungguin angkot nggak lewat-lewat dari tadi," jelas Trisha.

Dan bertepatan saat itu Trisha melihat motor seseorang yang begitu familier keluar dari gerbang sekolah dengan membonceng seorang cewek.

Sebenarnya Trisha sudah biasa melihat pemandangan seperti itu selama satu tahun ini. Dan Trisha mencoba untuk mengabaikan perasaan tak enak yang kerap kali menyusup masuk ke dalam hatinya tanpa permisi. Mencoba untuk mengenyahkan perasaan menyebalkan yang mengganggu itu, Trisha pun menghembuskan nafas panjang.

"Aku boleh pulang bareng kamu nggak?" tanya Trisha pada Abi.

Abi terdiam sejenak. Tidak biasanya Trisha ingin pulang bersamanya. Bahkan Trisha selalu menolak ketika Abi menawarinya untuk pulang bersama. Dan tentu saja hal itu membuat Abi senang.

"Boleh lah, bentar aku ambil motor dulu." Abi menyahut dengan bersemangat dan segera berbalik untuk mengambil motornya.

***
Artha mengecek jam di pergelangan tangannya sekali lagi. Sejak setengah jam yang lalu itulah yang dia lakukan sembari menunggu Trisha di tempat biasanya, di gazebo taman tak jauh dari rumahnya.

"Mampir ke mana sih tuh cewek?" gerutunya gusar pada dirinya sendiri.

Pasalnya Artha sudah sangat lelah dan ingin segera beristirahat di rumah. Tapi karena permintaan Mamanya agar dia dan Trisha selalu berangkat dan pulang sekolah bersama, jadilah setiap hari Artha dan Trisha berangkat sekolah bersama dari rumah. Tapi kemudian mereka berpisah di gazebo taman ini dan berangkat sendiri-sendiri. Begitu juga saat pulang sekolah, mereka akan saling menunggu di gazebo, entah Trisha atau Artha yang lebih dulu.

Artha berdecak jengkel karena sudah menunggu lebih dari setengah jam. Biasanya selisih waktu mereka pulang tidak pernah sampai selama ini.

Biasanya mereka akan saling mengabari jika salah satunya tidak bisa pulang lebih cepat. Tapi entah kenapa ponsel Artha sedari tadi masih sepi saja, tidak ada pesan dari gadis itu. Dan Artha sendiri juga tidak pernah menghubungi gadis itu lebih dulu, entahlah, rasanya canggung dan tidak terbiasa.

Akhirnya karena sudah tidak bisa lagi menahan lelah dan kantuknya, Artha memutuskan untuk pulang lebih dulu. Dan Artha hanya bisa melongo saat melihat ternyata Trisha sudah ada di rumah, sudah mengganti pakaiannya dan sedang menyiram tanaman di halaman depan.

"Ternyata lo udah pulang?" tanya Artha kesal karena ternyata Trisha sudah ada di rumah. Dia merasa dongkol harus menunggu selama lebih dari setengah jam di gazebo taman.

Rasa Untuk TrishaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang